Jumat, 08 Juni 2012

makalah Tafsir Surat Al-Fatihah T 2A


TAFSIR SURAT AL-FATIHAH

Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah, lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam Al Qur’an. Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh surat-surat sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu surat yang diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu tercermin dalam surat Al Fatihah.
Kedudukan surat Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran Islam yang mencakup semua isi Al-Qur’an. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah (Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan Al-Qur’anul Adhim.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya mencakup inti ajaran Al-Quran.
Tafsiran surat Al-Fatihah
Ayat pertama:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa memulai sesuatu dengan menyebut nama Allah merupakan adab yang diwahyukan Allah kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam pada permulaan turunnya wahyu Al-Qur’an ini sebagaimana telah disepakati, yaitu firman Allah, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu. . .”[1]
Dengan menyebut sifat Allah SWT di dalam memulai sesuatu dengan Ar-Rahman Ar-Rahim, mencakup seluruh makna rahmat dan keadaannya. Dan Dia sendiri sajalah yang khusus menghimpun kedua sifat ini, seperti halnya cuma Dia sendiri yang khusus memiliki sifat Ar-Rahman. Maka boleh saja seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya diberi sifat rahman , lebih-lebih melekatkan kedua sifat itu pada dirinya.
            Apabila segala sesutau dimulai dengan menyebut nama Allah yang mengandung tauhidullah dan adab terhadap-Nya itu menggambarkan keglobalan pertama dalam tashawwur Islam. Maka cakupan makna-makna rahmat, keadaan-keadaannya, dan lapangan-lapangannya dalam kedua sifat “Ar-Rahman Ar-Rahim” itu menggambarkan keglobalan kedua dalam tashawwur ini dan menetapkan hakikat hubungam antara Allah dan hamba-hamba-Nya.
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa permulaan ayat surat Al-Fatihah itu sesuai dengan kaidah utama ajaran Islam yang menyatakan Allah adalah al-Awwal wal Akhir, Wal zhahir wal Bathin/ Dia yang Pertama dan Dia pula yang Terakhir, Dia yang Nampak dengan jelas (bukti-bukti wujud-Nya) Dan Dia pula yang Tersembunyi (terhadap siapapun hakikat-Nya). Dia Yang Maha Suci itu yang merupakan wujud yang haq, yang dari-Nya semua wujud memperoleh wujudnya, dan dari-Nya bermula semua yang memiliki permulaan. Karena itu dengan nama-Nya, segala sesuatu harus dimulai dan dengan nama-Nya terlaksana gerak dan arah.[2]
Ayat kedua:
            “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa “Segala puji bagi Allah”, inilah perasaan yang melimpah masuk kedalam hati seorang mukmin, hanya semata-mata ingatnya kepada Allah. Karena keberadaannya sejak awal adalah limpahan dari sekian limpahan nikmat Ilahi yang menghimpun pujian dan sanjungan. Oleb karena itu, mengucapkan “Alhamdulillah” di dalam memulai sesuatu dan mengakhirinya merupakan salah satu kaidah diantara kaidah-kaidah tashawwur Islam secara langsung. Disamping itu, sampai dan melimpah pulalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman, yaitu apabila dia mengucapkan “Alhamdulillah” maka Allah menulis untuknya satu kebajikan yang memberatkan semua timbangan kebajikannya.
            Adapun bagian terakhir ayat yang berbunyi “Rabbil ‘aalamin” (Tuhan semesta alam), hal ini juga menggambarkan kaidah tashawwur Islam. Kata “Rabb” berarti Yang Berkuasa, Yang Memberlakukan/Yang bertindak. Tindakan memperbaiki dan memelihara itu meliputi semesta alam-seluruh makhluk-sedangkan Allah SWT tidak menciptakan alam semesta lantas membiarkannya sia-sia. Akan tetapi, Dia selalu memperbaikinya, memeliharanya dan merawatnya. Juga seluruh alam dan semua makhluk dipelihara dan dijaga dengan pemeliharaan Allah Tuhan semesta alam. Maka hubungan antara Al-Khaliq dan semua makhluk itu senantiasa terjadi dan berlaku setiap waktu dan pada setiap keadaan.[3]
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa memuji Allah adalah luapan rasa syukur yang memenuhi jiwa seorang mukmin ketika mendengar nama-Nya disebut. Karena keberadaan seseorang sejak semula di pentas bumi ini tidak lain kecuali limpahan nikmat Ilahi yang mengundang rasa syukur dan pujian. Setiap kejapan, setiap saat dan pada setiap langkah, silih berganti anugerah Allah berduyun-duyun lalu menyatu dan tercurah kepada seluruh makhluk, khususnya manusia. Karena itu wajar memulai dengan memuji-Nya dan mengakhiripun dengan menuji-Nya. Ini juga sebagai kaidah utama ajaran Islam, “ Dia Allah. Tiada Tuhan selain Dia. Bagi-Nya saja segala puji sejak awal (dalam kehidupan dunia ini) dan di akhirat nanti”. (Al-Qashash: 70).[4]
            Lanjutan ayat ini yang menyatakan Allah Rabb al-alamin. Kata rabb, seakar dengan kata tarbiyah, yaitu mengarahkan suatu tahap demi tahap , menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya. Penggalan ayat ini merupakan keterangan lebih lanjutnya yang membuktikan layaknya Allah SWT mendapat pujian. Allah wajar dipuja dan dipuji karena keindahan kebaikan dan kebenaran yang disandang-Nya. Selanjutnya Dia dipuja dan dipuji karena rububiyyah-Nya (pemeliharaan) itu. Bermula dari mewujudkan makhluk termasuk manusia dari tiada, sampai membimbing mereka untuk mencapai tujuan penciptaan hingga memelihara dan memasukkan manusia kelak di surga-Nya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa pujian harus dikembalikan atau ditujukan kepada Allah semata?” jawabannya adalah karena Dia Tuhan Pemeliahara seluruh alam.[5]
Ayat ketiga:
            “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa sifat ini meliputi semua rahmat dengan semua keadaaan dan lapangannya. Kalimat ini diulangi lagi disini, di dalam teks surat dalam ayat tersendiri, untuk menegaskan sifat yang jelas dan terang di dalam masalah rububiyyah yang meliputi itu dan untuk memantapkan pilar-pilar hubungan yang abadi antara Rabb dengan marbub (hamba-Nya), antara al-Khaliq dengan makhluk-Nya, bahwa hubungan itu adalah hubungan rahmat (kasih sayang) dan pemeliharaan yang menghimpun pujian dan sanjungan.[6]
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa pemeliharaan tidak dapat terlaksaana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai oleh rahmat kasih sayang. Oleh karena itu ayat ini menggaris bawahi kedua sifat Allah inisetelah sebelumnya menegaskan bahwa Allah adalah Pemelihara seluruh alam. Pemeliharan-Nya itu bukan atas dasar kesewenang-wenangan, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.
            Ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan ayat pertama (Basmalah). Kalimat ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini bertujuan menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.[7]
Ayat keempat:
            “Yang menguasai hari pembalasan.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan keseluruhan besar yang mendalam pengaruhnya bagi kehidupan seluruh manusia, yaitu kepercayaan global terhadap akhirat. “Malik” adalah puncak tingkat kekuasaan dan “yaumiddin” adalah hari pembalasan di akhirat.
            Oleh karena itu, akidah menyeluruh ini dianggap sebagai persimpangan jalan antara ubudiyah kepada kepentingan dan keinginan dengan kebebasan yang layak bagi manusia, antara ketundukan terhadap ide-ide duniawi dan nilai-nilainya serta timbangannya dengan kebergantungan kepada nilai-nilai Rabbaniyyah yang jauh mengungguli logika jahiliyah. Persimpangan jalan antara kemanusiaan dengan hakikatnya yang tinggi yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya dan pemikiran-pemikiran kotor dan menyimpang yang tidak akan dapat mencapai kesempurnaan.[8]
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa Pemelihara dan Pendidik yang Rahman dan Rahim  boleh jadi tidak memiliki (sesuatu). Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan. Oleh karena itu kepemilikan dan kekuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan.
            Thahir Ibn Asyur menulis bahwa penempatan ayat ini setelah penyebutan sifat-sifat Allah SWT  yang lalu, bukan sekedar untuk memaparkan sifat-sifat-Nya, tetapi ia merupakan akibat dari sifat-sifat yang telah dipaparkanpada ayat-ayat yang lalu. Ayat-ayat yang lalu menyifati Tuhan Yang Maha Esa itu dengan Rabb al-‘alamin dan ar-Rahman ar-Rahim  yang menunjukkan betapa sempurna kasih sayang-Nya terhadap makhluk dan bahwa perlakuan-Nya terhadap mereka adalah atas dasar pemeliharaan, bimbingan dan pendidikan yang mencakup perintah dan larangan guna kemaslahatan mereka, walaupun pada umumnya perintah dan larangan itu tidak sejalan dengan dorongan nafsu mereka, serta terasa berat olehnya. Dari sini terdorong oleh kekhawatiran adanya orang yang hanya mengandalkan rahmat dan kasih Allah serta pendidikan dan bimbingan–Nya yang disinggung sebelum ini, sehingga mengantar mereka mengabaikan tuntutan-tuntuan Allah. Maka sangat perlu menggaris bawahi bahwa Allah yang Rahman dan Rahim serta Pemeliahara dan Pembimbing itu juga adalah Dia Pemilik hari Kemudian. Disana kelak Dia akan memberi setiap jiwa balasan dan ganjaran sesuai dengan amal perbuatan mereka. Informasi itu diharapkan akan mendorong setiap orang untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[9]
Ayat kelima:
            “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.”  Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa inilah akidah menyeluruh yang bersumber dari keseluruhan akidah yang disebutkan. Maka, tidak ada ibadah kecuali kepada Allah dan tidak ada isti’anah (permohonan pertolongan) kecuali kepada Allah juga.[10]
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa kandungan surat Al-Fatihah menurut sebuah hadits dibagi Allah SWT menjadi dua. Setengah untuk-Nya dan setengah untuk hamba-Nya. Rasulullah SAW bersabda: “Allah berfirman: aku membagi shalat anatar Aku dan hamba-Ku separuh-separuh, dan untuk hamba-Ku apa yang dia mohonkan. Maka apabila seorang berkata/membaca, Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala puji bagi Allah Pemelihara seluruh alam), Allah menyambut dengan berfirman: “Aku dipuja hamba-Ku”, dan apabila dia membaca, Arrahmanirrahim, Allah berfirman: “Aku dipuji hamba-Ku”, dan bila dia membaca, Maliki yaumiddin, (Pemilik hari Pembalasan) Allah berfirman: “Aku diagungkan oleh hamba-Ku”, dan apabila dia membaca, iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, (Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan), Allah berfirman: “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia mohonkan.” Dan apabila dia membaca, Ihdina ash-shiratal mustaqim shiratal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhaalliin (jalan mereka yang Engkau beri nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan juga yang sesat), maka Allah berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohonkan.” (HR. Muslim memalui Abu Hurairah).[11]
Yang dimaksud sholat dalam hadits di atas adalah ayat-ayat surat Al-Fatihah.
            Redaksi ayat ini, Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan, adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut adalah pengajaran.
Ayat keenam:
            “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa maksudnya adalah “Berilah taufik kepada kami untuk mengetahui jalan hidup yang lurus yang dapat menyampaikan kepada tujuan dan berilah kami pertolongan untuk tetap istiqamah di jslsn itu setelah kami mengetahuinya.”[12]
            Maka, ma’rifah[13] dan istiqamah, keduanya adalah buah hidayah Allah, pemeliharaan-Nya dan rahmat-Nya. Dan menghadapkan diri kepada Allah dalam urusan seperti ini merupakan buah akidah dan keyakinan bahwa hanya Dia sendiri yang dapat memberi pertolongan. Dan ini merupakan urusan yang terbesar dan pertama kali diminta oleh orang mukmin kepada Tuhannya agar dia menolongnya.
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ayat ini merupakan pernyataan seorang hamba tentangt ketulusannya beribadah serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Dengan ayat ini sang hamba mengajukan permohonan kepada Allah, yakni bimbing dan antarlah kami memasuki jalan lurus.
            Kata ihdina terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’, dal dan ya’. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama tampil ke depan memberi petunjuk dan kedua menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.
            Petunjuk tingkat pertama (naluri) terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh pemilik naluri ini. Pada saat datang kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada di luar dirinya, sekali lagi manusia membutuhkan petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan petunjuk-Nya berupa panca indra.
            Namun, betapapun tajam dan kepekaan kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperolehnya tidak menggambarkan hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajamnya mata seseorang, ia akan melihat tongkat yang lurus menjadi bengkok di dalam air. Karena itu, manusia memerlukan petunjuk yang melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan kekeliruan-kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah yang dimaksud adalah hidayah agama.[14]
Ayat ketujuh:
            “(Yaitu) jalan orang-orang  yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa maksudnya adalah jalan orang-orang yang telah Allah bagikan rahmat-Nya kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai karena mereka sudah mengetahui kebenaran, tetapi kemudian berpaling darinya, dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat dari kebenaran sehingga tidak tahu jalan kebenaran sama sekali. Jalan itu adalah jalan orang-orang yang berbahagia, yang mendapat petunjuk, yang akan sampai kepada keridhaan Allah.[15]
            Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa nikmat adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri manusia. Nikmat menghasilkan suatu kondisi yang menyenangkan serta tidak mengakibatkan hal-hal negatif, baik material maupun immaterial. Kata ini mencakup kebajikan duniawi dan ukhrawi. Sementara ulama menyatakan bahwa pengertian asalnya berarti “kelebihan” atau “pertambahan.” Nikmat adalah sesuatu yang baik dan berlebih dari apa yang telah dimiliki sebelumnya.
            Sejarah dan pengalaman sehari-hari membuktikan bahwa ketaan kepada Allah SWT atau dengan kata lain melaksanakan kebenaran dan kebajikan, menghasilkan imbalan baik. Kalau bukan saat itu, paling tidak pada akhirnya. Demikian pula pembangkangan terhadap kebenaran menimbulkan penyesalan, bahkan siksaan paling sedikit adalah siksaan batin. Kalau bukan sesaat sesudah pelanggaran itu, maka tentu pada akhirnya.
            Tentang siapakah al-maghdhub ‘alaihim, ayat ini tidak menjelaskannya. Sementara ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadits Nabi SAW, menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Al-Qur’an juga memberitakan bahwa orang-orang Yahudi mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya. Atas dasar ini, para ulama tafsir lain memperluas pengertian al-maghdhub ‘alaihim sehingga mencakup semua yang telah mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.[16]
Pokok-pokok ajaran keimanan dalam surat Al-Fatihah
Pokok ajaran keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam ayat 2, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas suatu nikmat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala nikmat yang terdapat dalam alam ini. Di antara nikmat itu ialah : nikmat menciptakan, nikmat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb dalam kalimat Rabbil 'aalamiin tidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa, tetapi juga mengandung arti tarbiyah, yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat oleh seseorang dalam dirinya sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhanllah Yang Maha Berkuasa di alam ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya, sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok, maka di dalam surat Al-Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja, tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.
Yang dimaksud dengan Yang Menguasai Hari Pembalasan ialah pada hari itu Allahlah yang berkuasa, segala sesuatu tunduk kepada kebesaran-Nya sambil mengharap nikmat dan takut kepada siksaan-Nya. Hal ini mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk. Ibadah yang terdapat pada ayat 5 semata-mata ditujukan kepada Allah.
Pokok-pokok ajaran ibadah dalam surat Al-Fatihah
            Pokok ajaran ibadah dalam surat Al-Fatihah terdapat pada ayat kelima: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Pokok-pokok ajaran syari’at dalam surat Al-Fatihah
            Pokok ajaran syari’at dalam surat Al-Fatihah terdapat pada ayat keenam: “Tunjukkanlah kamijalan yang lurus.” Jalan kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Maksud "Hidayah" disini ialah hidayah yang menjadi sebab dapatnya keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, baik yang mengenai kepercayaan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.
Pokok-pokok ajaran tentang kisah dalam surat Al-Fatihah
            Ajaran tentang kisah di dalam surat Al-Fatihah para ahli tafsir beranggapan bahwa yang dimaksud adalah kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebagian besar dari ayat-ayat Al -Quran memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu yang menentang. Dalam ayat terakhir, yang dimaksud dengan orang yang diberi nikmat ialah para Nabi, para shiddiqiin (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadaa' (orang-orang yang mati syahid), shalihiin (orang-orang yang saleh). Orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat, ialah golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.


Hikmah dari surat Al-Fatihah
Dalam surat al-Fatihah terdapat uraian tentang:
1.      Tauhid, yang dikandung oleh ayat-ayatnya yang kedua dan ketiga: Alhamdulillahi Rabbil ‘aalamin. Arrahmaanirrahim.
2.      Kepastian hari kiamat, yang dikandung oleh ayatnya yang keempat: Maliki Yaumiddin.
3.      Ibadah yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah dikandung oleh ayat: Iyyaka Na’budu.
4.      Pengakuan tentang kelemahan manusia dan keharusan meminta pertolongan hanya kepada-Nya dalam ayat : Wa Iyaka Nasta’iin, dan Ihdinashiraathal mustaqiim.
5.      Keanekaragaman manusia dalam menghadapi perintah Ilahi : Ada yang menerima, ada yang menolak setelah mengetahui, dan ada juga yang sesat jalan, yaitu yang dikandung dalam ayat terakhir surat Al-Fatihah.
Kelima hal pokok di atas, tauhid, kepastian hari kiamat, dan keikhlasan beribadah adalah dasar-dasar pokok ajaran al-Qur’an. Sedang uraian yang terdapat dalam surah-surah lain tentang alam, manusia, dan sejarah merupakan cara-cara yang ditempuh oleh Al-Qur’an untuk mengantar manusia meraih, menghayati, mengamalkan persoalan-persoalan pokok itu.










KESIMPULAN

Surat Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim” yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus.
Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin.” Hal itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin adalah segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk.


[1] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 25-26
[2] Tafsir Al Misbah, Juz I, hlm 11
[3] Tafsir Fi Zilalil Qur’an, Juz I, hlm 26-27
[4] Tafsir Al Misbah, Juz I, hlm 27
[5] Ibid, hlm 31
[6] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 28
[7] Tafsir Al-Misbah, Juz I, hlm, 34
[8] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 29
[9] Tafsir Al-Misbah, Juz I hlm 41-42
[10] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 30
[11] Tafsir Al-Misbah, Juz I, hlm 49
[12] Tafsir fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 31
[13] Ma’rifah yang dimaksud disini ialah pengetahuan yang belum tentu diketahui orang awam
[14] Tafsir Al-Misbah, Juz I, hlm 63-64
[15] Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Juz I, hlm 31
[16] Tafsir Al-Misbah, Juz I, hlm 70-74

1 komentar: