Jumat, 08 Juni 2012

makalah fiqh ibadah tarbiyah 1a


BAB I
PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
Ibadah merupakan suatu perkara yang perlu adanya perhatian dengannya, karena ibadah itu tidak bisa dibuat main-main apalagi disalahgunakan. Dalam islam ibadah harus berpedoman pada apa yang telah Allah perintahkan dan apa yang telah diajarkan oleh Nabi agung  Muhammmad SAW kepada umat islam yang dilandaskan pada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad  berupa kitab suci Al-Qur’an dan segala perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi atau dengan kata lain yang disebut dengan hadits nabi.
            Kita sebagai umat islam tentunya mengetahui apa itu ibadah dan bagaimana cara pelaksanaan ibadah tersebut. Oleh karena itu, kita harus mengikuti ibadah yang dicontohkan dan dilakukan oleh nabi kepada kita dan tidak boleh membuat ibadah-ibadah yang tidak berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits.
             Dalam makalah ini, akan dikupas bersama tentang bagaimanakah ibadah, tujuan, manfaat, keutamaan dan sebagainya. Semoga ilmu ini bermanfaat bagi kita semua.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apakah ibadah itu dari segi pengertian islam ?
2.      Bagaimanakah peran ibadah terhadap kehidupan masyarakat islam ?
3.      Bagaimanakah tata cara beribadah yang baik dan benar ?
4.      Apakah bentuk-bentuk ibadah ?
5.      Bagaimanakah hakikat ibadah ?

  1. Maksud dan Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian ibadah itu dari segi pengertian islam?
2.      Untuk mengetahui peran ibadah terhadap kehidupan masyarakat islam ?
3.      Untuk mengetahui tata cara beribadah yang baik dan benar ?
4.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk ibadah ?
5.      Untuk mengetahui hakikat ibadah ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ibadah
            Ibadah adalah bahasa arab yang secara etimologi berasal dari akar kata عَبْدٌا-عِبَادَةً عَبِدَ-يَعْبُدُ- yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan diri, dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan. Seseorang yang tunduk, patuh, merendahkan diri di hadapan yang disembah disebut abid (yang beribadah). Budak disebut dengan عَبْدٌ karena dia harus tunduk dan patuh serta merendahkan diri terhadap majikannya.[1]
            Menurut Abu al-A’la al-Maududi kata ع ب دsecara kebahasaan pada mulanya mempunyai pengertian ketundukan seseorang kepada orang lain dan orang tersebut menguasainya. Oleh karena itu, ketika disebut kata الْعَبْد ُ dan الْعِباَدَةُ yang cepat tertangkap dalam pikiran orang adalah ketundukan dan kehinaan budak di hadapan majikan dan mengikuti segala macam perintahnya. Ketundukan itu tidak hanya berbentuk menundukkan kepala saja tetapi juga menundukkan hati. Dengan kata lain ketundukan yang menyeluruh atau sempurna. Perkembangan selanjutnya, pengertian ini bergeser kepada kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam mewujudkan ketundukannya.[2]
            Muhammad Abduh ketika menafsirkan surat Al-Fatihah mengatakan bahwa ibadah adalah ketaatan yang paling tinggi.[3] Disamping itu pengertian ibadah juga dapat dilihat dari segi objeknya. Jika objek ketaatan itu sesuatu yang konkrit, seperti penguasa maka tidak dinamakan ibadah. Tetapi apabila objeknya sesuatu yang Maha Besar dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera dapat dikatakan ibadah. Menurut Yusuf Qardhawi, apabila kita kembali kepada Al-Quran dan struktur serta pemakaian bahasa arab, kata الْعِباَدُ yang diambil dari kata الْعَباَدَةُ kebanyakan ditujukan kepada Allah SWT. Sedangkan kata الْعَبِيْدُ kebanyakan ditujukan kepada selain Allah SWT, karena kata tersebut diambil dari الْعُبُوْدِيَّةُyang berarti budak.
      Selanjutnya Yusuf Qardhwi mengemukakan pengertian kata ibadah di kalangan orang arab diartikan sebagai berikut:

اَلْعِبَادَةُ ضَرْبَةٌ مِنَ الْخُضُوْعِ بَا لَغَ حَدَّ النِّهَايَةِ نَاشِئُ اسْتِشْعَارِ الْقَلْبِ عُظْمَةً لِلْمَعْبُوْدِ                                            
      “Ibadah adalah puncak ketunduan yang tertinggi yang timbul dari kesadaran hati      sanubari dalam rangka mengagungkan yang disembah.”
     
            Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mengemukakan pengertian ibadah dari segi terminologi dengan rumusan yang berfariasi sesuai dengan bidangnya.[4]
      Menurut ulam tauhid, dan hadits ibadah adalah:

تَوْحِدُ اللهِ وَتَعْظِمُهُ غَا يَةَ التَّعْظِيْمِ مَعَ التَّذَ لُّلِ وَالْخُضُوْعِ لَهُ                                                                        
      “Mengesakan dan mengagungkan Allah sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepadanya.”

      Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ibadah itu sama dengan tauhid. Ikrimah, salah seorang ahli hadits mengatakan bahwa segala lafaz ibadah dalam Al-Quran diartikan dengan tauhid.
      Para ahli di bidang akhlak mendefisikan ibadah sebagai berikut:

الْعَمَلُ بِالطَّا عَا تِ الْبَدَ نِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِالشَّرَاءِِعِ                                                                                         
      “Mengerjakan segala bentuk kataatan badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum).
      “Akhlak” dan segala”tugas hidup” (kewajiban-kewajiban) yang diwajibkan atas pribadi, baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat, termasuk ke dalam pengertian ibadah, seperti Nabi SAW bersabda:

قال النبي صلى الله عليه وسلم نَظْرُ الرَّجُلِ إلى وَالِدَيْهِ حُبًّا لَهُمَا عِبَادَةٌ روه السيوطى                                        
      “Nabi SAW bersabda: Memandang ibu bapak karena cinta kita kepadanya adalah ibadah.(HR Al-Sututhi).
                                                                     
  قال النبي صلى الله عليه الْعِبَادَةُ عَشْرَةُ إَجْزَاءٍ تِسْعَةٌ مِنْهَا فِى طَلَبِ الْحَلَالِ روه السيوطى                                          
      “Nabi SAW bersabda: Ibadah itu sepuluh bagian, sembilan bagian dari padanya terletak dalam mencari harta yang halal.(HR Al-Suyuthi).”
      Ulama tasawuf mendefinisikan ibadah sebagai berikut:

فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفٍ هُوَ نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ                                                                                          
      “Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.
            Ada tiga bentuk ibadah menurut ahli tasawuf. Pertama, ibadah kepada Allah SWT karena sangat harap memperoleh pahala-Nya atau karena takut atas siksa-Nya. Kedua, ibadah kepada Allah SWT karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia, diakukan oleh orang yang mulia jiwanya. Ketiga, ibadah kepada Allah SWT karena memandang bahwa Allah SWT berhak disembah, dengan tidak memperhatikan apa yang akan diterima atau diperoleh darpada-Nya.
      Menurut ahli fiqih ibadah adalah;

                        مَا إِبْتِغَاءًلِوَجْهِ اللهِ وَطَلَبًا لِثََوْابِهِ فِى اْلاَخِرَةِ                                                          
      Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk mencapai keridaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.
            Dari semua pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik pengertian umum dari ibadah itu sebagaimana rumusan berikut:

الْعِبَادَةُ هِىَ اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ قَوْلاً كاَ نَ إَوْ فِعْلاً جَلِيًّا كاَ نَ إَوْ خَفِيًّا تَعْظِيْمًا لَهُ وَ طَلَبًا لِثَوَابِهِ           
      “Ibadah itu yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diridai oleh Allah SWT , baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya.
            Pengertian umum ibadah tersebut termasuk segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat ma’na), seperti thaharah dan shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk dan sujud maupun yng berhubungan dengan lidah seperti zikir, dan hati seperti niat.

B.  Hakikat Ibadah
            Dalam syariat islam ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan kecintaan merupakan implementsi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT. Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati, kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan kepada Allah SWT.[5]
            Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan ‘abid (orang yang beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi tidak tunduk kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan yang sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap selain Allah SWT adalah batil.
            Dengan melihat hakikat dan pengertiannya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa ibadah merupakan kewajiban dari apa yang disyariatkan Allah SWT yang disampaikan oleh para rasul-Nya dalam benyuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari lubuk hati orang yang mencintai Allah SWT.[6]
            Ada dua bentuk kesalahan manusia dalam memahami hakikat ibadah. Pertama, berlebihan dalam mewujudkan kecintaan, sehingga dapat menjerumuskan seseorang kedalam kekeliruan dalam beribadah atau melakukan hal-hal yang menafikan ibadah hingga terjebak kepada sifat-sifat ketuhanan yang hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT. Diasamping itu dapat juga menimbulkan kesalahan bilamana seseorang menginginkan atau melakukan praktik-praktik yang melampaui para nabi dan rasul. Kedua, orang mengira bahwa kecintaan itu menafikan etika beribadah, sehingga tidak menyertainya dengan rasa takut dan cemas kepada Allah SWT, sebagaimana dia mengira bahwa kecintaan itu tidak dapat direalisasikan oleh manusia terhadap Tuhan.[7]
            Hasbi Ash Shiddiqi, seorang cendekiawan muslim dari Indonesia, mengemukakan hakikat ibadah sebagai berikut:

خُضُوْعِ الرُّوْحِ يَنْشَإُ عَنِْ إِسْتِشْعَارِ الْقَلْبِ بِمَحَبَّةِ الْمَعْبُوْدِ وَعَظْمَتِهِ إِعْتِقَادًا بِإَنْ لشلْعَالِمِ سُلْطَانًا لاَيَدْرِكُهُ الْعَقْلُ حَقِيْقَة ً
    
            “Ketundukan jiwa yang timbul dari hati yang merasakan cinta terhadap Tuhan yang disembah dan merasakan kebesaran-Nya, berkeyakinan bahwa bagi alam ini ada penguasanya yang tidak dapat diketahui akal hakikatnya.
     Di samping itu hakiakat ibadah juga dikatakan:

إِسْتِعْبَادُ الرُّوْحِ وَإَضَاعُهَا لِسُلْطَانٍ غَيْبِىٍّ لاَيَحِيْطُ بِهِ عِلْمًا وَلاَ يَعْرِفُ لَهُ كُنْهاَ                                        
            “Memperhambakan dan menundukkan jiwa kepada kekuasaan yang gaib yang tidak dapat diselami dengan ilmu dan tidak pula dapat diketahui hakikatnya.
            Imam Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir, mengatakan bahwa hakikat ibadah itu adalah:

مَا يَجْمَعُ كَمَا لُ الْمَحَبَّةِ وَالْخُضُوْعِ وَالْخَوْفِ                                                                            
            “Himpunan dari semua rasa kecintaan, ketundukan, dan ketakutan yang sempurna (kepada Allah SWT).
            Setelah mengemukakan hakikat ibadah di atas, Hasbi Ash Siddiqi, mengatakan bahwa pengertian yang diberikan oleh suatu golongan berhubungan dengan penyempurnaan pengertian yang diberiakn oleh golongan yang lain. Jelasnya, seorang mukallaf tidak dipandang telah beribadat (sempurna ibadah-ibadahnya) kalau dia mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fukaha atau ahli ushul saja. Di samping dia beribadat dengan ibadah-ibadah sesuai dengan pengertian yang dibentangkan oleh para fukaha perlu dia beribadah pula dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits, dan ahli tafsir, perlu juga dia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka apabila telah terkumpul padanya pengertian-pengertian tersebut, barulah terdapat padanya hakikat ibadah dan ruh-ruhnya. Dengan demikian kerangka iabadahnya telah mempunyai ruh sebagai motor yang menggerakkannya.[8]

C.    Rahasia Ibadah dan Pengaruhnya
Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah SWT, bersyukur atas nikamat yang diberikan-Nya dan melaksanakan hak sesama manusia. Oleh karena itu, tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang ebrsufat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akalyang terbatas. Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia menyembah Tuhan-Nya. Ini berarti dia tidak harus mengetahui rahasianya secara terperinci. Seandainya ibadah itu harus sesuai dengan kemampuan akal dan harus mengetahui hikamah dan rahasianya secara terperinci, tentu orang yang lemah kemampuan akalnya mengetahui hikmah tersebut tidak akan melasankannya atau menjauhinya. Mereka akan menyembah akal dan nafsunya, tidak menyembah Tuhan.
Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H/1058-1103 M), ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati manusia, sebagaimana obat yang menyembuhakan badan yang sakit. Manusia tidak semuanya dapat mengetahui keistiewaan dan rahasia obat tersebut. Yang mengetahui hanya para dokter atau orang yang mempunyai spesialisasi tentang obat. Pasien hanya mengikuti perintah dokter dalam menggunakan obat yang cocok sesuai dengan dosisnya. Dia tidak akan membantah terhadap apa yang ditentukan dokter tersebut. Oleh karena itu menurut Al-Ghazali ibadah wajib diikuti sebagaimana telah dicontohkan  oleh nabi, kerena mereka dapat mengetahui rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan dengan kemampuan akal. Ibadah inilah yang disebut ibadah ghair ma’qulat al-ma’na seperti yang dikemukakan pada bagian yang lalu.

D.    Hubungan Ibadah dengan Iman
Beribadah kepada Allah SWT merupakan indikasi iman kepada yang gaib, walaupun orang yang beribadah tidak melihat-Nya dan juga merupakan indikasi ketaatan kepada perintah walaupun tidak diketahui rahasianya. Allah SWT Maha Kaya dari seluruh manusia dan makhluk-Nya. Bila manusia beribadah kepada sesuatu berarti mereka menyembah yang lebih pantas buat diri mereka dan mencari kebaikan yang bersifat rohani atau jasmani, individu atau masyarakat, dunia dan akhirat. Namun manusia terkadang-kadang tidak mengetahui himah yang didatangkanAllah SWT kepadanya.[9]
Kualitas iman yang dimiliki oleh seseorang mempengaruhi terhadap sikapnya dalam beribadah. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang makin tinggi pula ketaatannya, sebaliknya keimanan yang rendah berimplikasi kepada sikap atau ketaatan beribadah yang tidak maksimal.
Hubungan antara ibadah dengan iman sangat erat dan antara stu sama lain tidak dapat dipisahkan. Ibadah merupakan amal saleh, sedangkan amal saleh merupakan implementasi dari iman kepada Allah SWT.
Hal ini menunjukkan bahwa orang yangberiman tetapi tidak mengerjakan amal saleh belum dapat disebut sebagai seorang mukmin yang sempurna. Demikian juga sebaliknya, karena amal saleh termasuk di dalamnya ibadah khusus, merupakan implementasi dari iman itu sendiri.

E.     Tujuan Ibadah
Ibadah adalah amalan pokok dalam kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh Allah SWT, tidak lain adalah dalam rangka untuk mengabdi.
Allah berfirman dalam Al-Quran surat Adz-dzahriyat ayat 56 yang berbunyi :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنَ {56}                                                                     

Artinya:
Tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. (Q.S.Adz-dzahriyah : 56)
Jelaslah ayat diatas menjadi dasar bagi manusia dalam beribadah. Adapun dasar-dasar ibadah diantaranya:
1.      Cinta
      Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada cintanya kepada Allah dan Rosul-Nya, yang mengandung arti mendahulukan kehendak Allah dan Rosul-Nya atas yang lainnya.                                                                                           
2.      Takut(khauf)
Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada takutnya kepada Allah.

3.      Harapan(raja')
Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dijalankan dengan penuh harapan tanpa ada rasa pantang menyerah.
Ibadah merupakan perwujudan keimanan seorang, iman tidak hanya sekedar rumusan-rumusan abstrak tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu. Dengan demikian keimanan harus diwujudkan dalam peribadatan sebagai ekspresi penghambaan seseorang kepada Allah. Ibadah yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan sebagai berikut:
a.       Memperoleh ridha Allah.
Ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap apapun kecuali hanya untuk memperoleh ridhaAllah.
b.      Menumbuhkan kesadaran tanggungjawab.
Dengan melakukan ibadah dengan istiqomah akan membentuk jiwa yang sadar akan tanggungjawab.
c.       Perwujudan dan pemeliharaan keimanan.
Ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba secara konsisten merupakan perwujudan dan pemeliharaan keimanan.
d.      Meningkatkan harkat dan martabat.
Dengan ibadah manusia dapat dibedakan harkat dan martabatnya dengan hewan karena dengan akal dan fitrahnya yang mengarah kepada ketaatan kepada Tuhannya manusia dapat beribadah dengan baik.
e.       Meningkatkan ketakwaan kepada Allah.
Takwa yang merupakan tujuan utama dalam beribadah, karena dengan ketakwaan manusia akan memperoleh derajat yang mulia disisi Tuhannya.
f.       Tawajjuh(menghadap).
Menghadap Tuhan Yang Maha Esa dengan niat ibadah dalam setiap keadaan.
g.      Untuk perbaikan jiwa dan mencari anugerah.
Seluruh ibadah mempunyai fungsi ukhrawiyah, termasuk memperoleh keberuntungan dengan nikmat surga dan selamat dari azab neraka.

F.     Macam-Macam Ibadah Ditinjau dari Berbagai Segi
  1. Dari segi ruang lingkupnya
Karena ruang lingkup ibadah begitu luas, maka menurut pandangan jumhur ulama secara garis besar ibadah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:
a.       Ibadah umum, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan atau perbuatan, lahir maupun batin. Dengan demikian ibadah umum mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti : aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, seni, dan pendidikan. Dan ibadah ini sering dikenal dengan sebutan ibadah ghoiru mahdhah, yaitu suatu ibadah yang tata cara, waktu, jumlah tidak ditetapkan. Dalam ibadah ini terbagi ke dalam dua sifat yaitu:
1)      Ibadah yang melibatkan fisik dalam pelaksanaannya(Ibadah Badani) .
Misalnya : bersuci, adzan, qomat, i'tikaf, doa, shalawat, umroh, dzikir, dan lain sebagainya.
2)      Mali(bersifat harta), ibadah yang pelaksanaannya melibatkan harta benda.
Misalnya: qurban, aqiqah, sadaqah, waqaf, dan lain sebagainya.
  1. Ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,
tingkatan, dan tahapannya dan cara-cara tertentu. Ibadah ini sering disebut ibadah mahdhah. Ibadah ini merupakan menifestasi dari rukun Islam.

  1. Dari bentuk dan sifatnya
Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ibadah terbagi kepada enam macam:
a.       Ibadah-ibadah yang berupa perkataan dan ucapan lidah.
Contohnya: dzikir, doa, munajat, dan sebagainya.
b.      Ibadah-ibadah yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat.
Contohnya : berijtihad di jalan Allahh, tolong-menolong, dan sebagainya.
c.       Ibadah-ibadah yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Contohnya: puasa.
d.      Ibadah-ibadah yang melengkapi Perbuatan dari menahan diri dari sesuau pekerjaan.
      Contohnya: i'tikaf.
e.       Ibadah-ibadah yang bersifat menggugurkan hak.
Contohnya: membebaskan orang yang berhutang, memaafkan kesalahan orang, dan sebagainya.
f.       Ibadah-ibadah yang melengkapi perkataan, pekerjaan.
Contohnya: khudlu, khusu', menahan diri dari berbicara yang tidak ada gunanya.[10]

  1. Ditinjau dari segi sifat, waktu, keadaan, dan rukunnya.
Apabila ditinjau dari segi sifat, waktu, keadaan, dan hukumnya ibadah terbagi kepada :
a.       Muadda yaitu ibadah yang dikerjakan dalam waktu yang ditetapkan syara’.
      Ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang ditetapkan itu untuk pertama kalinya, bukan sebagai pengulangan . Pelaksanaan ibadah ini disebut sebagai ibadah tunai (ada’).
b.      Maqdhi yaitu ibadah yang dikerjakan sesudah keluar waktu yang ditentukan syara’. Ibadah ini bersifat sebagai pengganti yang tertinggal, baik karena disengaja, atau tidak, seperti tertinggal karena sakit, atau sedang dalam bepergian. Pelaksanaan ibadah ini disebut dengan qadha.
c.       Mu’ad yaitu ibadah yang diulang sekali lagi dalam waktunya untuk menambah kesempurnaan, misalnya melaksanakan shalat secara berjamaah dalam waktunya yang ditentukan setelah melaksanakannya secara sendirian pada waktu yang sama.
d.      Muthlaq yaitu ibadah yang tidak dikaitkan waktunya oleh syara’ dengan sesuatu waktu yang terbatas, seperti membayar kafarat, sebagai hukuman bagi pelanggar sumpah.
e.       Muwaqqat yaitu ibadah yang dikaitkan oleh syara’ dengan waktu yang tertentu dan terbatas, seperti shalat pada waktu shalat subuh, dhuhur, asar, maghrib, dan isa’. Termasuk pula puasa pada bulan ramadhan.
f.       Muwassa’ yaitu ibadah yang lebih luas waktunya dari yang diperlukan untuk melaksanakan kewajibannya yang dituntut pada waktu itu, seerti shalat lima waktu. Seseorang yang shalat diberikan kepadanya hak mengerjakan shalatnya di awal waktu, dipertengahan dan di akhirnya asal selesai dikerjakan sebelum berakhir waktunya. Dalam jangka waktu itu boleh dikerjakan shalat sunah.
g.      Mudhayyaq atau mi’yar yaitu ibadah yang waktunya sebanyak atau sepanjang fardhu yang difardhukan dalam waktu itu seperti puasa. Dalam bulan Ramadan, hanya dikhususkan untuk puasa wajib dan tidak boleh dikerjakan puasa yang lain  pada waktu itu seperti puasa sunah, nadhar dan lain-lain.
h.      Dzusyabhain yaitu ibadah yang mempunyai persamaan dengan mudazzaq dan mempunyai persamaan pula dengan muwassa’, seperti ibadah haji. Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji menyerupai mudayyaq, karena hanya diwajibkan sekali dalam setahun dan dari segi keberlanjutan bulan-bulan haji itu menyerupai muwassa’.
i.        Mu’ayyan yautu ibadah tertentu dituntut oleh syara’ , misalnya Allah memerintahkan salat, maka seorang mukallaf wajib melaksanakan salat yang diperintahkan itu, tidak adalah ibadah lain yang dapat dipilih sebagai penggantinya.
j.        Mukhayyar yaitu ibadah yang boleh diprilih salah satu dari yang diperitahkan seperti kebolehan memilih antara beristinja’ dengan air dan beristijmar dengan batu. Atau memilih kafarat sumpah yang terdiri dari member makan fakir miskin, member pakaian mereka atau memerdekakan hamba sahaya.[11]












BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Ibadah adalah segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat ma’na), seperti thaharah dan shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk dan sujud maupun yng berhubungan dengan lidah seperti zikir, dan hati seperti niat.
Tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan manusia yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas. Ibadah merupakan pengujian terhadap manusia menyembah Tuhan-Nya.
Ibadah yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan yaitu memperoleh ridha Allah, menumbuhkan kesadaran tanggungjawab, perwujudan dan pemeliharaan keimanan, meningkatkan harkat dan martabat, meningkatkan ketakwaan kepada Allah, tawajjuh(menghadap), dan untuk perbaikan jiwa dan mencari anugerah.
Adapun dasar-dasar ibadah adalah Cinta ,Takut(khauf), dan harapan (raja’). Sehingga dengan dasar-dasar ibadah tersebut manusia menjadi lebih mengerti bagaimanakah itu sediri.
Kemudian ibadah ditinjau dari Karena ruang lingkup ibadah begitu luas, maka menurut pandangan jumhur ulama secara garis besar ibadah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: pertama, Ibadah umum, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupaperkataan atau perbuatan, lahir maupun batin.Ibadah secara umum mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti : aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, seni, dan pendidikan. Dan ibadah ini sering dikenal dengan sebutan ibadah ghoiru mahdhah, yaitu suatu ibadah yang tata cara, waktu, jumlah tidak ditetapkan.
Kedua,Ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,









  



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qardhawi, Yusuf,.Al-‘Ibadah fi al-Islam.Beirut: Muassasah al-Risalah.1979.

Ash Shiddiqi, Hasbi, Kuliah Ibadah. Jakarta: Bulan Bintang,1994.


     [1] Al-Qardhawi, Yusuf, Al-‘Ibadah fi al-Islam,( Beirut: Muassasah al-Risalah,cet.6, 1979),hal.27.
     [2] Ibid, hal.28.
     [3]Ibid, hal.29
     [4] Ash Shiddiqi, Hasbi, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang,1994), hal.2-6.
     [5] Al-Qardhawi,Op.cit., hal.31.
     [6] Ibid., hal.32-33.
     [7] Ibid., hal. 36-38.
     [8] As-siddiqi,op.cit.,hal.8-9.
     [9] Al-Qardhawi,op.cit., hal. 207-208.
     [10] Ash Shiddiqi,op.cit., hal. 18-20.
     [11] Ibid., hal.22-30.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar