BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ibadah merupakan
suatu perkara yang perlu adanya perhatian dengannya, karena ibadah itu tidak bisa
dibuat main-main apalagi disalahgunakan. Dalam islam ibadah harus berpedoman
pada apa yang telah Allah perintahkan dan apa yang telah diajarkan oleh Nabi
agung Muhammmad SAW kepada umat islam
yang dilandaskan pada kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad berupa kitab suci Al-Qur’an dan segala
perbuatan, perkataan, dan ketetapan nabi atau dengan kata lain yang disebut
dengan hadits nabi.
Kita
sebagai umat islam tentunya mengetahui apa itu ibadah dan bagaimana cara
pelaksanaan ibadah tersebut. Oleh karena itu, kita harus mengikuti ibadah yang
dicontohkan dan dilakukan oleh nabi kepada kita dan tidak boleh membuat ibadah-ibadah
yang tidak berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits.
Dalam makalah ini, akan dikupas bersama
tentang bagaimanakah ibadah, tujuan, manfaat, keutamaan dan sebagainya. Semoga
ilmu ini bermanfaat bagi kita semua.
- Rumusan Masalah
1. Apakah ibadah itu dari segi pengertian islam
?
2. Bagaimanakah peran ibadah terhadap kehidupan
masyarakat islam ?
3. Bagaimanakah tata cara beribadah yang baik
dan benar ?
4. Apakah bentuk-bentuk ibadah ?
5. Bagaimanakah hakikat ibadah ?
- Maksud dan Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian ibadah itu dari
segi pengertian islam?
2. Untuk mengetahui peran ibadah terhadap
kehidupan masyarakat islam ?
3. Untuk mengetahui tata cara beribadah yang
baik dan benar ?
4. Untuk mengetahui bentuk-bentuk ibadah ?
5. Untuk mengetahui hakikat ibadah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ibadah
Ibadah adalah bahasa arab
yang secara etimologi berasal dari akar kata عَبْدٌا-عِبَادَةً عَبِدَ-يَعْبُدُ- yang berarti taat, tunduk, patuh, merendahkan
diri, dan hina. Kesemua pengertian itu mempunyai makna yang berdekatan.
Seseorang yang tunduk, patuh, merendahkan diri di hadapan yang disembah disebut
abid (yang beribadah). Budak disebut dengan عَبْدٌ karena dia harus tunduk dan patuh serta merendahkan
diri terhadap majikannya.[1]
Menurut Abu al-A’la
al-Maududi kata ع ب دsecara kebahasaan pada mulanya mempunyai
pengertian ketundukan seseorang kepada orang lain dan orang tersebut
menguasainya. Oleh karena itu, ketika disebut kata
الْعَبْد ُ dan الْعِباَدَةُ yang cepat tertangkap dalam
pikiran orang adalah ketundukan dan kehinaan budak di hadapan majikan dan
mengikuti segala macam perintahnya. Ketundukan itu tidak hanya berbentuk
menundukkan kepala saja tetapi juga menundukkan hati. Dengan kata lain
ketundukan yang menyeluruh atau sempurna. Perkembangan selanjutnya, pengertian
ini bergeser kepada kebebasan dan kemerdekaan seseorang dalam mewujudkan
ketundukannya.[2]
Muhammad
Abduh ketika menafsirkan surat Al-Fatihah mengatakan bahwa ibadah adalah
ketaatan yang paling tinggi.[3]
Disamping itu pengertian ibadah juga dapat dilihat dari segi objeknya. Jika
objek ketaatan itu sesuatu yang konkrit, seperti penguasa maka tidak dinamakan
ibadah. Tetapi apabila objeknya sesuatu yang Maha Besar dan tidak dapat
ditangkap oleh panca indera dapat dikatakan ibadah. Menurut Yusuf Qardhawi,
apabila kita kembali kepada Al-Quran dan struktur serta pemakaian bahasa arab,
kata الْعِباَدُ yang diambil dari kata الْعَباَدَةُ kebanyakan ditujukan kepada
Allah SWT. Sedangkan kata الْعَبِيْدُ kebanyakan ditujukan kepada
selain Allah SWT, karena kata tersebut diambil dari الْعُبُوْدِيَّةُyang
berarti budak.
Selanjutnya Yusuf Qardhwi mengemukakan
pengertian kata ibadah di kalangan orang arab diartikan sebagai berikut:
اَلْعِبَادَةُ ضَرْبَةٌ مِنَ الْخُضُوْعِ
بَا لَغَ حَدَّ النِّهَايَةِ نَاشِئُ اسْتِشْعَارِ الْقَلْبِ عُظْمَةً لِلْمَعْبُوْدِ
“Ibadah adalah puncak ketunduan yang
tertinggi yang timbul dari kesadaran hati sanubari dalam rangka mengagungkan yang disembah.”
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mengemukakan
pengertian ibadah dari segi terminologi dengan rumusan yang berfariasi sesuai
dengan bidangnya.[4]
Menurut ulam tauhid, dan hadits
ibadah adalah:
تَوْحِدُ اللهِ وَتَعْظِمُهُ غَا يَةَ
التَّعْظِيْمِ مَعَ التَّذَ لُّلِ وَالْخُضُوْعِ لَهُ
“Mengesakan dan mengagungkan Allah
sepenuhnya serta menghinakan diri dan menundukkan jiwa kepadanya.”
Selanjutnya mereka mengatakan
bahwa ibadah itu sama dengan tauhid. Ikrimah, salah seorang ahli hadits
mengatakan bahwa segala lafaz ibadah dalam Al-Quran diartikan dengan tauhid.
Para ahli di bidang akhlak mendefisikan ibadah
sebagai berikut:
الْعَمَلُ بِالطَّا عَا تِ الْبَدَ
نِيَّةِ وَالْقِيَامُ بِالشَّرَاءِِعِ
“Mengerjakan segala bentuk kataatan
badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum).”
“Akhlak” dan segala”tugas hidup”
(kewajiban-kewajiban) yang diwajibkan atas pribadi, baik yang berhubungan
dengan diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat, termasuk ke dalam pengertian
ibadah, seperti Nabi SAW bersabda:
قال النبي صلى
الله عليه وسلم نَظْرُ الرَّجُلِ إلى وَالِدَيْهِ حُبًّا لَهُمَا عِبَادَةٌ روه
السيوطى
“Nabi SAW bersabda: Memandang ibu bapak
karena cinta kita kepadanya adalah ibadah.(HR Al-Sututhi).”
قال النبي صلى الله عليه الْعِبَادَةُ عَشْرَةُ
إَجْزَاءٍ تِسْعَةٌ مِنْهَا فِى طَلَبِ الْحَلَالِ روه السيوطى
“Nabi SAW bersabda: Ibadah itu sepuluh
bagian, sembilan bagian dari padanya terletak dalam mencari harta yang
halal.(HR Al-Suyuthi).”
Ulama tasawuf mendefinisikan
ibadah sebagai berikut:
فِعْلُ الْمُكَلَّفِ عَلَى خِلاَفٍ
هُوَ نَفْسِهِ تَعْظِيْمًا لِرَبِّهِ
“Pekerjaan seorang mukallaf yang berlawanan
dengan keinginan nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.”
Ada tiga bentuk
ibadah menurut ahli tasawuf. Pertama, ibadah kepada Allah SWT karena sangat
harap memperoleh pahala-Nya atau karena takut atas siksa-Nya. Kedua, ibadah
kepada Allah SWT karena memandang bahwa ibadah itu perbuatan mulia, diakukan
oleh orang yang mulia jiwanya. Ketiga, ibadah kepada Allah SWT karena memandang
bahwa Allah SWT berhak disembah, dengan tidak memperhatikan apa yang akan diterima
atau diperoleh darpada-Nya.
Menurut ahli fiqih ibadah adalah;
مَا
إِبْتِغَاءًلِوَجْهِ اللهِ وَطَلَبًا لِثََوْابِهِ فِى اْلاَخِرَةِ
“Segala bentuk ketaatan yang engkau kerjakan untuk
mencapai keridaan Allah SWT dan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
Dari semua
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat ditarik pengertian umum
dari ibadah itu sebagaimana rumusan berikut:
الْعِبَادَةُ هِىَ
اِسْمٌ جَامِعٌ لِمَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ قَوْلاً كاَ نَ إَوْ فِعْلاً
جَلِيًّا كاَ نَ إَوْ خَفِيًّا تَعْظِيْمًا لَهُ وَ طَلَبًا لِثَوَابِهِ
“Ibadah itu yang mencakup segala perbuatan
yang disukai dan diridai oleh Allah SWT , baik berupa perkataan maupun perbuatan,
baik terang-terangan maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah SWT dan
mengharapkan pahala-Nya.”
Pengertian umum
ibadah tersebut termasuk segala bentuk hukum, baik yang dapat dipahami maknanya
(ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut dengan muamalah pada umumnya,
maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair ma’qulat ma’na), seperti
thaharah dan shalat, baik yang berhubungan dengan anggota badan seperti rukuk
dan sujud maupun yng berhubungan dengan lidah seperti zikir, dan hati seperti
niat.
B. Hakikat Ibadah
Dalam syariat islam ibadah mempunyai dua
unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur
yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan kecintaan merupakan implementsi
dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga mengandung unsur kehinaan,
yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT. Pada mulanya ibadah
merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati, kemudian
tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan
kepada Allah SWT.[5]
Orang yang tunduk kepada
orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak dinamakan ‘abid (orang yang
beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi tidak tunduk
kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan yang
sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna
terhadap selain Allah SWT adalah batil.
Dengan melihat hakikat dan
pengertiannya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa ibadah merupakan kewajiban dari
apa yang disyariatkan Allah SWT yang disampaikan oleh para rasul-Nya dalam
benyuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari lubuk hati orang yang
mencintai Allah SWT.[6]
Ada dua bentuk kesalahan manusia dalam
memahami hakikat ibadah. Pertama, berlebihan dalam mewujudkan kecintaan,
sehingga dapat menjerumuskan seseorang kedalam kekeliruan dalam beribadah atau
melakukan hal-hal yang menafikan ibadah hingga terjebak kepada sifat-sifat
ketuhanan yang hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT. Diasamping itu dapat juga
menimbulkan kesalahan bilamana seseorang menginginkan atau melakukan
praktik-praktik yang melampaui para nabi dan rasul. Kedua, orang mengira bahwa
kecintaan itu menafikan etika beribadah, sehingga tidak menyertainya dengan rasa
takut dan cemas kepada Allah SWT, sebagaimana dia mengira bahwa kecintaan itu
tidak dapat direalisasikan oleh manusia terhadap Tuhan.[7]
Hasbi Ash Shiddiqi,
seorang cendekiawan muslim dari Indonesia, mengemukakan hakikat ibadah sebagai
berikut:
خُضُوْعِ الرُّوْحِ يَنْشَإُ عَنِْ
إِسْتِشْعَارِ الْقَلْبِ بِمَحَبَّةِ الْمَعْبُوْدِ وَعَظْمَتِهِ إِعْتِقَادًا بِإَنْ
لشلْعَالِمِ سُلْطَانًا لاَيَدْرِكُهُ الْعَقْلُ حَقِيْقَة ً
“Ketundukan jiwa yang timbul dari hati yang
merasakan cinta terhadap Tuhan yang disembah dan merasakan kebesaran-Nya,
berkeyakinan bahwa bagi alam ini ada penguasanya yang tidak dapat diketahui
akal hakikatnya.”
Di samping itu hakiakat ibadah
juga dikatakan:
إِسْتِعْبَادُ
الرُّوْحِ وَإَضَاعُهَا لِسُلْطَانٍ غَيْبِىٍّ لاَيَحِيْطُ بِهِ عِلْمًا وَلاَ
يَعْرِفُ لَهُ كُنْهاَ
“Memperhambakan dan menundukkan jiwa kepada
kekuasaan yang gaib yang tidak dapat diselami dengan ilmu dan tidak pula dapat
diketahui hakikatnya.”
Imam Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir,
mengatakan bahwa hakikat ibadah itu adalah:
مَا يَجْمَعُ كَمَا لُ الْمَحَبَّةِ
وَالْخُضُوْعِ وَالْخَوْفِ
“Himpunan dari semua rasa kecintaan,
ketundukan, dan ketakutan yang sempurna (kepada Allah SWT).”
Setelah mengemukakan hakikat ibadah di
atas, Hasbi Ash Siddiqi, mengatakan bahwa pengertian yang diberikan oleh suatu
golongan berhubungan dengan penyempurnaan pengertian yang diberiakn oleh
golongan yang lain. Jelasnya, seorang mukallaf tidak dipandang telah beribadat
(sempurna ibadah-ibadahnya) kalau dia mengerjakan ibadah-ibadah dalam
pengertian fukaha atau ahli ushul saja. Di samping dia beribadat dengan
ibadah-ibadah sesuai dengan pengertian yang dibentangkan oleh para fukaha perlu
dia beribadah pula dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits,
dan ahli tafsir, perlu juga dia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli
akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka apabila telah terkumpul padanya
pengertian-pengertian tersebut, barulah terdapat padanya hakikat ibadah dan
ruh-ruhnya. Dengan demikian kerangka iabadahnya telah mempunyai ruh sebagai
motor yang menggerakkannya.[8]
C. Rahasia Ibadah dan Pengaruhnya
Pada
dasarnya ibadah membawa seseorang untuk mematuhi perintah Allah SWT, bersyukur
atas nikamat yang diberikan-Nya dan melaksanakan hak sesama manusia. Oleh
karena itu, tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada
kehidupan manusia yang ebrsufat material, tidak pula merupakan hal yang mudah
mengetahui hikmah ibadah melalui kemampuan akalyang terbatas. Ibadah merupakan
pengujian terhadap manusia menyembah Tuhan-Nya. Ini berarti dia tidak harus
mengetahui rahasianya secara terperinci. Seandainya ibadah itu harus sesuai
dengan kemampuan akal dan harus mengetahui hikamah dan rahasianya secara
terperinci, tentu orang yang lemah kemampuan akalnya mengetahui hikmah tersebut
tidak akan melasankannya atau menjauhinya. Mereka akan menyembah akal dan
nafsunya, tidak menyembah Tuhan.
Menurut Imam
Al-Ghazali (450-505 H/1058-1103 M), ibadah bertujuan untuk menyembuhkan hati
manusia, sebagaimana obat yang menyembuhakan badan yang sakit. Manusia tidak
semuanya dapat mengetahui keistiewaan dan rahasia obat tersebut. Yang
mengetahui hanya para dokter atau orang yang mempunyai spesialisasi tentang
obat. Pasien hanya mengikuti perintah dokter dalam menggunakan obat yang cocok
sesuai dengan dosisnya. Dia tidak akan membantah terhadap apa yang ditentukan
dokter tersebut. Oleh karena itu menurut Al-Ghazali ibadah wajib diikuti
sebagaimana telah dicontohkan oleh nabi,
kerena mereka dapat mengetahui rahasianya berdasarkan inspirasi kenabian, bukan
dengan kemampuan akal. Ibadah inilah yang disebut ibadah ghair ma’qulat
al-ma’na seperti yang dikemukakan pada bagian yang lalu.
D. Hubungan Ibadah dengan Iman
Beribadah
kepada Allah SWT merupakan indikasi iman kepada yang gaib, walaupun orang yang
beribadah tidak melihat-Nya dan juga merupakan indikasi ketaatan kepada
perintah walaupun tidak diketahui rahasianya. Allah SWT Maha Kaya dari seluruh
manusia dan makhluk-Nya. Bila manusia beribadah kepada sesuatu berarti mereka
menyembah yang lebih pantas buat diri mereka dan mencari kebaikan yang bersifat
rohani atau jasmani, individu atau masyarakat, dunia dan akhirat. Namun manusia
terkadang-kadang tidak mengetahui himah yang didatangkanAllah SWT kepadanya.[9]
Kualitas
iman yang dimiliki oleh seseorang mempengaruhi terhadap sikapnya dalam
beribadah. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang makin tinggi pula
ketaatannya, sebaliknya keimanan yang rendah berimplikasi kepada sikap atau
ketaatan beribadah yang tidak maksimal.
Hubungan
antara ibadah dengan iman sangat erat dan antara stu sama lain tidak dapat
dipisahkan. Ibadah merupakan amal saleh, sedangkan amal saleh merupakan
implementasi dari iman kepada Allah SWT.
Hal ini
menunjukkan bahwa orang yangberiman tetapi tidak mengerjakan amal saleh belum
dapat disebut sebagai seorang mukmin yang sempurna. Demikian juga sebaliknya,
karena amal saleh termasuk di dalamnya ibadah khusus, merupakan implementasi
dari iman itu sendiri.
E. Tujuan Ibadah
Ibadah adalah amalan pokok dalam
kehidupan manusia, sebab manusia diciptakan oleh Allah SWT, tidak lain adalah
dalam rangka untuk mengabdi.
Allah berfirman dalam Al-Quran surat Adz-dzahriyat ayat 56 yang berbunyi :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلاِنْسَ إِلاَّ
لِيَعْبُدُوْنَ {56}
Artinya:
Tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali
untuk mengabdi kepada-Ku. (Q.S.Adz-dzahriyah : 56)
Jelaslah ayat diatas menjadi dasar
bagi manusia dalam beribadah. Adapun dasar-dasar ibadah diantaranya:
1. Cinta
Maksudnya
ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba didasarkan pada cintanya kepada Allah
dan Rosul-Nya, yang mengandung arti mendahulukan kehendak Allah dan Rosul-Nya
atas yang lainnya.
2. Takut(khauf)
Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh
seorang hamba didasarkan pada takutnya kepada Allah.
3. Harapan(raja')
Maksudnya ibadah yang dilakukan oleh
seorang hamba dijalankan dengan penuh harapan tanpa ada rasa pantang menyerah.
Ibadah merupakan
perwujudan keimanan seorang, iman tidak hanya sekedar rumusan-rumusan abstrak
tanpa kemampuan memberi dorongan batin kepada individu. Dengan demikian
keimanan harus diwujudkan dalam peribadatan sebagai ekspresi penghambaan
seseorang kepada Allah. Ibadah yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan
sebagai berikut:
a. Memperoleh
ridha Allah.
Ibadah yang dilakukan oleh seorang
hamba dilakukan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap apapun kecuali hanya
untuk memperoleh ridhaAllah.
b. Menumbuhkan
kesadaran tanggungjawab.
Dengan melakukan ibadah dengan
istiqomah akan membentuk jiwa yang sadar akan tanggungjawab.
c. Perwujudan
dan pemeliharaan keimanan.
Ibadah yang dilakukan oleh seorang
hamba secara konsisten merupakan perwujudan dan pemeliharaan keimanan.
d. Meningkatkan
harkat dan martabat.
Dengan ibadah manusia dapat dibedakan
harkat dan martabatnya dengan hewan karena dengan akal dan fitrahnya yang
mengarah kepada ketaatan kepada Tuhannya manusia dapat beribadah dengan baik.
e. Meningkatkan
ketakwaan kepada Allah.
Takwa yang merupakan tujuan utama
dalam beribadah, karena dengan ketakwaan manusia akan memperoleh derajat yang
mulia disisi Tuhannya.
f. Tawajjuh(menghadap).
Menghadap Tuhan Yang Maha Esa dengan niat ibadah dalam
setiap keadaan.
g. Untuk
perbaikan jiwa dan mencari anugerah.
Seluruh ibadah mempunyai fungsi
ukhrawiyah, termasuk memperoleh keberuntungan dengan nikmat surga dan selamat
dari azab neraka.
F. Macam-Macam Ibadah Ditinjau dari Berbagai
Segi
- Dari segi ruang lingkupnya
Karena ruang lingkup ibadah begitu
luas, maka menurut pandangan jumhur ulama secara garis besar ibadah dibagi ke
dalam dua bagian, yaitu:
a. Ibadah
umum, yaitu segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa perkataan
atau perbuatan, lahir maupun batin. Dengan demikian ibadah umum mencakup
seluruh aspek kehidupan, seperti : aspek ekonomi, sosial, politik, budaya,
seni, dan pendidikan. Dan ibadah ini sering dikenal dengan sebutan ibadah
ghoiru mahdhah, yaitu suatu ibadah yang tata cara, waktu, jumlah tidak
ditetapkan. Dalam ibadah ini terbagi ke dalam dua sifat yaitu:
1) Ibadah
yang melibatkan fisik dalam pelaksanaannya(Ibadah Badani) .
Misalnya : bersuci, adzan, qomat,
i'tikaf, doa, shalawat, umroh, dzikir, dan lain sebagainya.
2) Mali (bersifat
harta), ibadah yang pelaksanaannya melibatkan harta benda.
Misalnya: qurban, aqiqah, sadaqah, waqaf, dan lain
sebagainya.
- Ibadah khusus, yaitu apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,
tingkatan, dan
tahapannya dan cara-cara tertentu. Ibadah ini sering disebut ibadah mahdhah.
Ibadah ini merupakan menifestasi dari rukun Islam.
- Dari bentuk dan sifatnya
Ditinjau
dari segi bentuk dan sifatnya ibadah terbagi kepada enam macam:
a. Ibadah-ibadah
yang berupa perkataan dan ucapan lidah.
Contohnya: dzikir, doa, munajat, dan
sebagainya.
b. Ibadah-ibadah
yang berupa perbuatan yang tidak disifatkan dengan sesuatu sifat.
Contohnya : berijtihad di jalan
Allahh, tolong-menolong, dan sebagainya.
c. Ibadah-ibadah
yang berupa menahan diri dari mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Contohnya: puasa.
d. Ibadah-ibadah
yang melengkapi Perbuatan dari menahan diri dari sesuau pekerjaan.
Contohnya: i'tikaf.
e. Ibadah-ibadah
yang bersifat menggugurkan hak.
Contohnya: membebaskan orang yang berhutang, memaafkan kesalahan
orang, dan sebagainya.
f. Ibadah-ibadah
yang melengkapi perkataan, pekerjaan.
Contohnya: khudlu, khusu', menahan
diri dari berbicara yang tidak ada gunanya.[10]
- Ditinjau dari
segi sifat, waktu, keadaan, dan rukunnya.
Apabila
ditinjau dari segi sifat, waktu, keadaan, dan hukumnya ibadah terbagi kepada :
a. Muadda
yaitu ibadah yang dikerjakan dalam waktu yang ditetapkan syara’.
Ibadah
tersebut dilakukan pada waktu yang ditetapkan itu untuk pertama kalinya, bukan
sebagai pengulangan . Pelaksanaan ibadah ini disebut sebagai ibadah tunai
(ada’).
b. Maqdhi yaitu ibadah yang dikerjakan
sesudah keluar waktu yang ditentukan syara’. Ibadah ini bersifat sebagai
pengganti yang tertinggal, baik karena disengaja, atau tidak, seperti
tertinggal karena sakit, atau sedang dalam bepergian. Pelaksanaan ibadah ini
disebut dengan qadha.
c. Mu’ad yaitu ibadah yang diulang sekali
lagi dalam waktunya untuk menambah kesempurnaan, misalnya melaksanakan shalat
secara berjamaah dalam waktunya yang ditentukan setelah melaksanakannya secara
sendirian pada waktu yang sama.
d. Muthlaq yaitu ibadah yang tidak dikaitkan
waktunya oleh syara’ dengan sesuatu waktu yang terbatas, seperti membayar
kafarat, sebagai hukuman bagi pelanggar sumpah.
e. Muwaqqat yaitu ibadah yang dikaitkan oleh
syara’ dengan waktu yang tertentu dan terbatas, seperti shalat pada waktu
shalat subuh, dhuhur, asar, maghrib, dan isa’. Termasuk pula puasa pada
bulan ramadhan.
f. Muwassa’ yaitu ibadah yang lebih luas
waktunya dari yang diperlukan untuk melaksanakan kewajibannya yang dituntut
pada waktu itu, seerti shalat lima waktu. Seseorang yang shalat diberikan
kepadanya hak mengerjakan shalatnya di awal waktu, dipertengahan dan di
akhirnya asal selesai dikerjakan sebelum berakhir waktunya. Dalam jangka
waktu itu boleh dikerjakan shalat sunah.
g. Mudhayyaq atau mi’yar yaitu ibadah yang
waktunya sebanyak atau sepanjang fardhu yang difardhukan dalam waktu itu
seperti puasa. Dalam bulan Ramadan, hanya dikhususkan untuk puasa wajib
dan tidak boleh dikerjakan puasa yang lain
pada waktu itu seperti puasa sunah, nadhar dan lain-lain.
h. Dzusyabhain yaitu ibadah yang mempunyai
persamaan dengan mudazzaq dan mempunyai persamaan pula dengan muwassa’, seperti
ibadah haji. Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji menyerupai mudayyaq, karena
hanya diwajibkan sekali dalam setahun dan dari segi keberlanjutan bulan-bulan
haji itu menyerupai muwassa’.
i.
Mu’ayyan
yautu ibadah tertentu dituntut oleh syara’ , misalnya Allah memerintahkan
salat, maka seorang mukallaf wajib melaksanakan salat yang diperintahkan itu,
tidak adalah ibadah lain yang dapat dipilih sebagai penggantinya.
j.
Mukhayyar yaitu ibadah yang boleh diprilih salah
satu dari yang diperitahkan seperti kebolehan memilih antara beristinja’ dengan
air dan beristijmar dengan batu. Atau memilih kafarat sumpah yang terdiri dari
member makan fakir miskin, member pakaian mereka atau memerdekakan hamba
sahaya.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibadah adalah segala bentuk hukum, baik
yang dapat dipahami maknanya (ma’qulat al-ma’na) seperti hukum yang menyangkut
dengan muamalah pada umumnya, maupun yang tidak dapat dipahami maknanya (ghair
ma’qulat ma’na), seperti thaharah dan shalat, baik yang berhubungan dengan anggota
badan seperti rukuk dan sujud maupun yng berhubungan dengan lidah seperti
zikir, dan hati seperti niat.
Tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada kehidupan
manusia yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui
hikmah ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas. Ibadah merupakan pengujian
terhadap manusia menyembah Tuhan-Nya.
Ibadah yang dilakukan setiap hamba memiliki tujuan
yaitu memperoleh ridha Allah, menumbuhkan kesadaran tanggungjawab, perwujudan
dan pemeliharaan keimanan, meningkatkan harkat dan martabat, meningkatkan
ketakwaan kepada Allah, tawajjuh(menghadap), dan untuk perbaikan jiwa dan
mencari anugerah.
Adapun dasar-dasar ibadah adalah
Cinta ,Takut(khauf), dan harapan (raja’). Sehingga dengan dasar-dasar ibadah
tersebut manusia menjadi lebih mengerti bagaimanakah itu sediri.
Kemudian ibadah ditinjau
dari Karena ruang lingkup ibadah begitu luas, maka menurut pandangan jumhur
ulama secara garis besar ibadah dibagi ke dalam dua bagian, yaitu: pertama, Ibadah umum, yaitu segala sesuatu yang
dicintai dan diridhoi oleh Allah, baik berupaperkataan atau perbuatan, lahir
maupun batin.Ibadah secara umum mencakup seluruh aspek kehidupan, seperti :
aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, seni, dan pendidikan. Dan ibadah ini
sering dikenal dengan sebutan ibadah ghoiru mahdhah, yaitu suatu ibadah yang
tata cara, waktu, jumlah tidak ditetapkan.
Kedua,Ibadah khusus, yaitu apa yang telah
ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya,
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf,.Al-‘Ibadah
fi al-Islam.Beirut: Muassasah al-Risalah.1979.
Ash Shiddiqi, Hasbi,
Kuliah Ibadah. Jakarta :
Bulan Bintang,1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar