BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Allah. Dalam penciptaannya manusia diciptakan secara sempurna oleh Allah SWT. Dibekali dengan potensi-potensi yang harus dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Guna menjalankan tugasnya sebagai kalifah di bumi.
Lebih lanjut lagi Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan manusia secara sempurna, potensi yang diberikan kepadanya serta tugas apa yang harus dijalankan oleh manusia. Kemudian, bagaiamana bunyi ayat Al-Qur’an serta bagaimana para mufassir menjelaskan ayat-ayat tersebut akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah maksud dari manusia sebagai puncak ciptaan Allah?
2. Bagaimana potensi manusia?
3. Bagaiamana misi manusia sebagai khalifah di bumi?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui maksud dari manusia sebagai puncak ciptaan Allah.
2. Untuk mengetahui bagaimana potensi manusia.
3. Untuk mengetahui misi manusia sebagai khalifah di bumi.
BAB II
PEMBAHASAN
AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA
QS ATTIIN :4-5
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
QS. Asy-Syams : 8-10
$ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
QS HUD : 61
* 4n<Î)ur yqßJrO öNèd%s{r& $[sÎ=»|¹ 4 tA$s% ÉQöqs)»t (#rßç6ôã$# ©!$# $tB /ä3s9 ô`ÏiB >m»s9Î) ¼çnçöxî ( uqèd Nä.r't±Rr& z`ÏiB ÇÚöF{$# óOä.tyJ÷ètGó$#ur $pkÏù çnrãÏÿøótFó$$sù ¢OèO (#þqç/qè? Ïmøs9Î) 4 ¨bÎ) În1u Ò=Ìs% Ò=ÅgC ÇÏÊÈ
61. dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
QS Shad :71-72
øÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #Z|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sÎ*sù ¼çmçG÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
I. PEMBAHASAN
1. Manusia Sebagai Puncak Ciptaan Allah
Keterkaitan manusia sebgaia puncak ciptaan Allah dijelaskan dalam tafsir al-Misbah bahwa kata خلقنا pada QS At-Tiin yang artinya Kami telah menciptakan terdiri atas خلق dan نا yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Kata نا (Kami) yang menjadi kata ganti nama itu menunjukkan kepada jamak (banyak) tetapi bisa juga digunakan untuk menunjukkan satu pelaku saja dengan maksud mengagungkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata kami. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya.
Selanjutnya yang dimaksud dengan menciptakan di sini adalah menciptakan manusia. Dimana manusia diciptakan dalam bentuk fisik dan psikis sebaik-baiknya. Maksud dari sebaik-baiknya adalah fungsi manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi. Ayat ini dikemukakan dalam konsep penggambaran anugrah Allah kepada manusia dan tentu saja tidak mungkin anugrah tersebut terbatas pada bentuk fisik. Apalagi Allah secara tegas mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.
Dalam tafsir al-Misbah disebutkan pula manusia mencapai tingkat setinggi-tingginya apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Akan tetapi, jika manusia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka manusia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya sebelum ruh Ilahi menyentuh fisiknya.[1]
Dalam QS Shad ayat 71-72 juga dijelaskan bahwasanya Allah sangat memuliakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk lainnya. Dengan adanya bukti Allah menyuruh semua malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam dengan cara bersujud bersama-sama, padahal malaikat adalah makhluk Allah yang tidak permnah melakukan dosa. Hal ini sebagaimana penjelasan suatu maqolah yang mana malaikat adalah makhluk Allah yang dimuliakan dan tidak pernah durhaka pada Allah serta selalu melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.[2]
Ini membuktikan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna (ahsanul kholiqin).[3] Akan tetapi dengan kesempurnaan yang dimilkinya tidak lantas menjadikan manusia itu merasa menguasai seluruh alam semesta ini, sebab jika manusia sudah merasa dialah mahkluk paling sempurna dan berkuasa di muka bumi ini maka timbullah kesewenang-wenangan terhadap mahkluk lain, hal ini dapat melupakan tugas utama manusia dalam mengemban amanat dari Allah SWT sebagai mahkluk yang sempurna yaitu menjadi kholifah dimuka bumi ini
2. Potensi Manusia
Dalam QS Asy-Syams pada Tafsir munir, Allah memberikan ilham kepada jiwa berupa baik dan jelek, dan ada pula yang mengatakan Allah memberikan sifat kemunafikan pada orang kafir dan ketakwaan pada orang mukmin. Selanjutnya orang yang sangat beruntung adalah orang yang membersihkan jiwanya dari dosa dengan cara melakukan perbuatan taat pada Allah dan menjauhi kemaksiatan.[4]
Dari keterangan di atas, dapat dipahami oleh pemakalah bahwa Allah memberikan dua potensi pada diri manusia yaitu baik dan jelek. Memilih baik atau jelek ada di tangan manusia itu sendiri. Jika manusia itu memilih mengembangkan potensi baik dengan melaksanakan ketakwaan pada Allah maka Allah juga akan memberikan imbalan yang setimpal padanya. Dan sebaliknya, jika manusia itu lebih condong pada potensi jelek dengan melakukan kemaksiatan maka Allah juga akan memberikan balasan sesuai dengan apa yang diperbuat.
3. Misi Manusia Sebagai Khalifah di Bumi
Misi manusia sebagai khalifah di bumi dijelaskan oleh Allah dalam QS Hud ayat 61. Dijelaskan dalam Tafsir Al-Misbah bahwa ayat ini mengandung perintah kepada manusia baik secara langsung ataupun tidak, untuk membangun bumi dengan kedudukannya sebagai khalifah sekaligus untuk menjadi alasan kenapa manusia harus menyembah Allah SWT.
Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Kasir yang dimaksud dengan khalifah adalah suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain kurun demi kurun dan generasi demi generasi.[5]
Lebih lanjut dijelaskan lagi misi manusia sebagai khalifah adalah mengelola bumi sehingga dapat menjadi suatu tempat dan kondisi yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya.[6] Akan tetapi, ketika manusia menjalankan tugasnya sebagai khalifah pasti tidak lupt dari kesalahan maka dari itu, dalam ayat ini juga dijelaskan ketika melakukan sebuah kesalahan hendaklah segera bertaubat kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah itu Dzat yang amat dekat dan mengabulkan doa hamba-Nya.
II. KESIMPULAN
1. Manusia sebagai puncak ciptaan Allah adalah manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna yang tidak hanya terbatas dalam bentuk fisik. sehingga manusia dapat memenuhi kebutuhan antara jasmani dan rohani. Serta berbeda dengan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.
2. Potensi manusia, maksudnya adalah Allah memberikan dua potensi dalam diri manusia yaitu baik dan jelek. Potensi manakah yang akan dikembangkan diserahkan pada manusia itu sendiri.
3. Misi manusia di bumi adalah sebagai khalifah di bumi yakni mengelola bumi sehingga dapat menjadi suatu tempat dan kondisi yang memungkinkan untuk diambil manfaatnya
DAFTAR PUSTAKA
M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, lentera Hati, 2002.
Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsir Munir, Toha Putra Semarang, T.T.
Tafsir Ibnu Kasir,
[1] M. Quraisy Syihab, Tafsir al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, lentera Hati, 2002, hal. 381.
[2] Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tafsir Munir, Toha Putra Semarang, T.T, hal 225.
[3] M. Quraisy Syihab, Op. Cit. hal. 377.
[4] Syeikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Op Cit, hal. 448.
[6] M. Quraisy Syihab, Op. Cit. hal. 285.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar