Jumat, 08 Juni 2012

Makalah Hadist tentang Keteladanan Dalam Pendidikan T 2A


KETELADANAN DALAM PENDIDIKAN

            Keteladanan dalam pendidikan adalah suatu cara yang ditempuh dalam mendidik dengan jalan memberi contoh atau teladan yang baik. Dari salah satu riwayat hadits diceritakan:
            1859. Dari Jarir bin Adbullah berkata, “ Beberapa orang Arab pedalaman datang kepada Rasulullah dengan mengenakan pakaian dari bulu kambing (pakaian jelek). Rasulullah melihat keadaan mereka yang menyedihkan dan mereka memerlukan bantuan, lalu Rasulullah menganjurkan kaum muslimin agar bersedekah. Tetapi mereka lambat merespon anjuran itu, sehingga kekecewaan tampak pada wajah Rasulullah.
            Kemudian laki-laki Anshar datang dengan memberikan sejumlah uang, lalu disusul orang lain lagi. Kemudian banyak orang yang menyusul untuk memberikan sedekah, sehingga keriangan tampak pada wajah Rasulullah.”
            Setelah itu Rasulullah bersabda, “ Barangsiapa memberi teladan yang baik di dalam Islam lalu diikuti orang lain sesudahnya, maka dicatat untuknya pahala sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang mereka peroleh. Dan barangsiapa memberikan teladan jelek di dalam Islam lalu diikuti orang lain sesudahnya, maka dicatat untuknya dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa yang mereka peroleh sedikitpun.”[1]
            Dari hadits diatas dapat disimpulkan bahwa teladan yang baik atau buruk akan mendapat ganjaran yang sama bagi seseorang itu, khususnya dalam pendidikan.
            Nabi Muhammad saw. dibimbing Allah swt. untuk meneladani para Nabi sebelum beliau setelah Allah mengisahkan kisah mereka pada surat al-An’aam. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petujuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS al-An’aam:90). Secara khusus Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya diarahkan Allah swt. untuk meneladani Nabi Ibrahim as dan pengikutnya dalam mentaati Allah. “Sesungguhnya pada mereka itu ada teladan yang baik bagi kalian.” (QS al-Mumtahanah:6).
            Teladan dalam pendidikan harus diperhatikan, terutama pada pendidiknya sendiri. Karena pendidik mempunyai peranan penting dalam mendidik peserta didiknya. Apakah diajarkan dengan cara-cara yang baik ataukah dengan cara-cara yang keras dan kurang tepat bagi peserta didiknya.
Adanya teladan dalam mendidik dan memandu umat manusia merupakan hal yang berperan penting. Karena manusia selalu dalam belajar dan tertarik untuk meniru atau belajar dari pihak lain. Seseorang akan selalu berusaha mengatur tindakan dan perilakunya sesuai dengan apa yang dilakukan oleh teladan pilihannya. Sebagai agama yang luhur, Islam senantiasa menginginkan para pemeluknya menjadi umat yang teladan dan menjadi contoh bagi yang lain. Atas dasar itulah, Al-Quran menyebutkan beragam ciri dan sifat-sifat manusia teladan yang bisa dijadikan sebagai contoh bagi manusia lainnya. Dalam surat Al-Hujarat Al-Quran menyatakan bahwa manusia terbaik di sisi Allah adalah mereka yang mencapai derajat ketakwaan dan menjauhkan dirinya dari perbuatan tercela.
Dalam surat Al Ahzab ayat 21 Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang mengharap Allah dan hari kiamat, serta yang berdzikir kepada Allah dengan banyak.”
Pakar tafsir az-Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat diatas, mengemukakan dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul itu. Pertama dalam arti kepribadian beliau secara totalitasnya adalah teladan. Kedua dalam arti terdapat dalam kepribadian beliau hal-hal yang patutu diteladani. Pendapat pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama. Kata fii rasulillahi berfungsi “memngangkat” dari diri Rasul satu sifat yang hendaknya diteladani, tetapi ternyata yang diangkatnya adalah Rasul saw. Sebdiri dengan seluruh totalitas beliau.[2]
Rasulullah saw. sebagai suri teladan yang baik selalu mendahulukan dirinya mengerjakan segala perintah yang datang dari Allah swt. sebelum perintah itu disampaikan pada umatnya, demikian pula larangan-larangan Allah swt. ia senantiasa menjauhinya. Seorang pendidik harus menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya. Apabila si pendidik mempunyai sikap yang buruk, lalu bagaimana bisa murid-muridnya menjadi orang yang baik? Oleh karena itu hendaknya seorang pendidik harus memberikan contoh-contoh yang baik bagi murid-muridnya. Karena secara otomatis murid akan mencontoh apa yang gurunya lakukan.
Teladan yang baik dari seorang pendidik sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan contoh yang baik seorang anak didik akan termotivasi untuk meniru dan mengikuti perilaku seorang pendidik. Teladan yang baik pula akan memperlancar tercapainya tujuan dari proses pendidikan. Misalnya, Seorang murid di TK, dia lebih cepat dalam menangkap apa yang ia lihat dari pada yang ia dengar. Demikian pula pada pada anak yang duduk di SD, SMP, SMA dan yang sederajat.
Manusia dalam hidupnya mempunyai sikap saling ketergantungan dengan manusia lain, demikian pula dalam belajar, ia banyak dipengaruhi oleh keadaan di sekelilingnya, sehingga Albert Bandura dalam teori belajar sosial, memandang tingkah laku manusia timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Adanya keterbukaan seseorang terhadap lingkungannya akan membuka peluang memperoleh pelajaran sebanyak-banyaknya, begitu banyak yang dapat diamati dan dipikirkan untuk diambil pelajaran darinya. Teori belajar sosial menekankan perlunya imitation (peniruan) terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa. Lewat pengamatan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan, seorang anak dapat menirunya, karena itu teramt penting bagi seorang pendidik, untuk memainkan peran sebagai model atau tokoh yang menjadi contoh dan diteladani oleh anak didiknya.[3]
Untuk menciptakan hubungan yang baik diperlukan adanya komunkasi yang baik antara keduanya, baik berupa perkataan maupun tindakan. Tindakan yang dimaksudkan di sini adalah keteladanan dari seorang guru. Karena dengan teladan yang baik, anak didik akan lebih mudah untuk percaya terhadap gurunya.
Perlu disadari secara mendalam, bahwa maksud dan tujuan pendidikan pada hakikatnya bukan hanya untuk menjadi anak yang pintar, cerdas dari segi intelektualnya. Akan tetapi yang paling penting dari esensi pendidikan adalah terciptanya manusia yang bermoral dan berbudi pekerti yang mulia. Berapa banyak orang yang pintar akan tetapi mereka masih berlaku bejat terhadap dirinya, orang lain dan bangsa. Kasus korupsi kita dengar terus menerus di berbagai media. Padahal mereka adalah orang-orang yang cerdas, pintar berkedudukan tinggi. Imam Syafi’i pernah berkata: “pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok”. Jika para pendidik memberikan teladan yang buruk, maka anak didiknya kelak akan menjadi generasi penerus yang buruk. Jika hal ini tidak ingin terjadi maka yang harus diperbaiki dan ditingkatkan pertama kalinya adalah kualitas pendidikannya. Karena pendidikan adalah ibarat akar sebatang pohon, yang mana jika akarnya mati, maka matilah seluruh cabang-cabangnya, dan apabila akarnya baik dan sehat, maka cabang-cabangnya akan ikut sehat.
Untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, maka pemerintah dan lembaga harus selektif dalam memilih guru. Guru yang seharusnya dipilih adalah guru yang profesional, yaitu guru yang mempunyai tingkat kompetensi yang tinggi dan bermoral. tapi yang kedua adalah harus tetap lebih diutamakan, walaupun antara satu dengan yang lain tidak boleh dipisahkan. Dengan moral yang baik itu, guru akan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya. Dengan moral yang baik pula akan nampak dari seorang guru keteadanan yang baik, sehingga dengan teladan itu seorang murid lebih tertarik untuk mengikuti apa yang disampaikan oleh gurunya. Apalah artinya seorang guru itu pintar, cerdas, tapi tidak mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa yang ia didik. Pada akhirnya juga dia tidak bisa meaksanakan tugasnya dengan baik.
Moralitas yang baik itu merupakan sesuatu yang harus ada pada diri seorang pendidik. karena dia adalah yang akan mempersiapkan generasi mendatang. Bagaimana dia bisa mentransfer nilai-nilai yang baik, jika pada dirinya tidak ada nilai-nilai tersebut. Seorang pendidik juga harus mampu memberikan teladan yang baik bagi anak didiknya. Karena dengan itulah tujuan pendidikan untuk menciptakan generasi yang bermoral bisa tercapai.
Oleh karena itu, supaya nilai-nilai mulia pendidikan bisa teraplikasikan dalam setiap aktivitas sehari-hari, maka hendaknya pendidik bisa memberikan teladan yang baik kepada mereka. Ini tidak akan pernah terjadi tanpa ada kesadaran pada diri setiap pendidik baik guru maupun orang tua. Kesadaran ini bisa dibentuk dengan adanya keinginan-keinginan baik dari seorang pendidik terhadap anak didiknya.















KESIMPULAN

Keteladanan dalam pendidikan merupakan hal yang penting dan harus ditempuh dalam mendidik dengan jalan memberi contoh atau teladan bagi anak didiknya. Adapun hal-hal yang yang wajib diingat adalah teladan tersebut dimulai dari pendidik itu sendiri. Karena teladan yang baik akan memperlancar tercapainya tujuan dari proses pendidikan dan menjadikan anak didik mempunyai contoh guru yang patut dicontoh.
Oleh karena itu, supaya nilai-nilai mulia pendidikan bisa teraplikasikan dalam setiap aktivitas sehari-hari, maka hendaknya pendidik bisa memberikan teladan yang baik kepada mereka. Ini tidak akan pernah terjadi tanpa ada kesadaran pada diri setiap pendidik baik guru maupun orang tua. Kesadaran ini bisa dibentuk dengan adanya keinginan-keinginan baik dari seorang pendidik terhadap anak didiknya.

















DAFTAR PUSTAKA

-          Al-Albani, M. Nahiruddin. Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta: Gema Insani. 2005.
-          Syihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al-Qur’an. Volume 11. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
-          Syah, Muhibbin. Psikologi belajar, Cet. V; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006.


[1] M. Nahiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Muslim. (Jakarta: Gema Insani. 2005). Hlm 941
[2] Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, Keserasian Al-Qur’an. Volume 11. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). Hlm 242.
[3] Muhibbin Syah, Psikologi belajar, Cet. V; (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Hlm 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar