BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang
Masalah
Khawarij adalah
salah satu nama aliran di dalam pembahasan ilmu kalam. Khawarij merupakan suatu
sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar
dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan
keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan
kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang persengketaan
khilafah.
Beberapa
sebab mengapa aliran ini dinamakan Khawarij:
1. Golongan
ini keluar dari barisan Ali bin Abi Tholib. Mereka sebenarnya pengikut Ali,
kaeana tidak setuju dengan tahkim atau perjanjian sebagai jalan keluar dala
penyelesaian persengketaan tentang kholifah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
2. Khawarij
berasal dari kata “khoroja” yang berarti keluar. Mengandung maksud bahwa mereka
(sebagian pengikut Ali ) keluar dari barisan Ali.
Munculnya Khawarij yang memisahkan
diri dari kekhalifahan Ali yang sah mencerminkan pergeseran persoalan dari
politik ( kholifah ) menjadi masalah agama. Sebab mereka mengangap Ali telah
berdosa dan telah menyeleweng dari ketentuan agama Islam.
Perlawanan khawarij tidak hanya kepada
Ali saja akan tetapi pada Islam yang sah. Baik bani Umayah maupun bani Abasiyah.
Karena mereka dianggap dinasti yang menyeleweng dari ketentuan agama Islam.
Utsman dianggap juga menyeleweng sejak tahun ke-7 dari masa kekhalifahannya.
Sedangkan Ali sejak peristiwa tahkim/perjanjian.
BAB
II
PEMBAHASAN
Khawarij
dan Pemikiran Kalamnya
A. Sejarah Lahir
Khawarij merupakan suatu sekte/
kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar dari
barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan
Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Siffin pada tahun
37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan
tentang persengketaan khilafah.
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu
diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100
surat An-Nisa’, yang artinya: “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan
Rasul-Nya”. Dengan demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang
meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah
dan Rasul-Nya.[1]
Kemudian mereka menyebut diri
mereka dengan sebutan Syurah, yang berasal dari kata yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam 207 surat
Al-Baqarah: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan
Allah”. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata Harura, satu desa yang terletak di dekat
kota Kuffah, di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah
duabelas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka
memilih Abdullah bin Abi wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari
Ali bin Abi Tholib. Dalam pertempuran dengan Ali, mereka mengalami kekalahan
besar, tetapi akhirnya seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam dapat
membunuh Ali.
Walaupun telah mengalami kekalahan,
kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap
kekuatan Islam resmi baik di zaman dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman
dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang pada waktu itu mereka
anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan
dijatuhkan.
Awalnya, khalifah atau pemerintahan
Abu Bakar dan Umar bin Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa
kedua khalufah ini diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari
ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi Usman bin Affan mereka anggap telah
menyeleweng dari mulai tahun ke- 7 dari masa khalifahnya. Dan Ali juga mereka
pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase.[2]
Sejak waktu itulah Usman dan Ali
bagi mereka telah menjadi kafir. Demikian halnya dengan Mu’awiyyah, Amr bin As,
Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar
ajaran-ajaran Islam.[3]
B. Ajaran-Ajaran Pokok Khawarij
Ajaran-pokok Khawarij antara lain:[4]
Ø Kategori
politik
1. Khalifah
atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2. Khalifah
tidak harus dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak menjadi
khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
3. Khalifah
dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan
syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh bila melakukan kezhaliman.
4. Khalifah
sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Usman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke- 7
dari masa khalifah Usman dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah
Ali adalah tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyyiah
dan Amr bin Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah
kafir.
7. Pasukan
Jamal yang melawan Ali juga kafir.
Ø Kategori
teologi
1. Seseorang
yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dinunuh. Yang
sangat anarkis (kacau), mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi
kafir apabila ia tak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan
resiko ia menanguung beban harus dilenyapkan pula.
2. Setiap
muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.bila tidak mau
bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-Harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap
berada dalam dar al-Islam (Negara
Islam).
3. Seseorang
harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng.
4. Adanya
wa’ad dan wa’id (orang yang baik masuk surge, sedangkan orang yang jahat
masuk neraka).
Ø Kategori
sosial
1. Amar
ma’ruf nahi munkar.
2. Memalingkan
ayat-ayat Al-qur’an yang tampak mutasabihat.
3. Al-Qur’an
adalah makhluk
4. Manusia
bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.
C. Sekte-Sekte dan Ajarannya
Sekte-sekte yang ada di dalam
Khawarij antara lain:
Ø Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri
dari pengikut-pengikut Ali. Menurut mereka, Ali, Muawiyyah, kedua pengantara Amr bin
Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah
dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum
kafir ini mereka luaskan artinya, sehingga termasuk orang yang berbuat dosa
besar.
Berbuat zina dipandang sebagai
salah satu dosa besar, maka menurut mereka orang yang berzina telah menjadi
kafir. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa
besar dan menjadi kafir. Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar yang
lainnya.[5]
Ø Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun
barisan baru dan besar serta kuat sesudah al-Muhakkimah hancur adalah golongan
al-Azariqah. Daerah kekuasaan
mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ bin
Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang.
Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri. Dan kepadanya mereka
beri gelar Amir al-Mukminin. Nafi’
mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini sikapnya lebih radikal
dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak sepaham
dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan al-Azariqah tapi tidak
mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan kata
lain, orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan
tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang musyrik. Dan
barangsiapa yang datang ke daerah mereka dan mengakui al-Azariqah tidaklah
diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan.
Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima dengan baik. Tetapi kalau tawanan
itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
Sikap
yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, memberi keyakinan kepada mereka
bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-Azariqah. Lebih lanjut
lagi, bukan hanya orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri
orang-orang yang demikianpun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Menurut
paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam.
Orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus
diperangi. Mereka selalu bertanya pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja
yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan
al-Azariqah, mereka bunuh.[6]
Ø Al-Najdat
Najdah
bin Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin
menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang
tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut- pengikut Nafi’
bin Azraq, diantaranya adalah Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi,
tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam
lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka yang tak setuju
dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang- orang
Islam yang tak sepaham dengan mereka.
Abu
Fudaik dengan teman-teman serta pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan
pergi ke Yamamah. Disini mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam
pertikaian paham dengan Nafi’, sehingga Najdah dengan pengikut-pengikutnya
membatalkan rencana untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Pengikut
Abu Fudaik dan pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebagai imam baru. Nafi’
bin Azraq tidak lagi diakuisebagai imam. Nafi’ telah mereka pandang kafir dan
demikian pula orang yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah
berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka
hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya
jika melakukan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di dalam
neraka dan kemudian akan masuk surga.[7]
Dosa
kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalu dikerjakan terus menerus dan yang
mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Seterusnya
ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui
Allah dan rasul-rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya
pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. Orang yang tak
mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud orang-orang Islam disini
adalah pengikut-pengikut Najdah. Dalam hal-hal selain tersebut diatas, orang
Islam tidak diwajibkan mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang haram
dengan tidaktahu bahwa hal itu haram, ia dapat dimaafkan.
Dalam
kalangan al-Khawarij, golongan inilah yang membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk
keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut
pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk
perbuatan.
Tetapi
tidak pula semua pengikut Najdah setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran
diatas, terutama paham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya menjadi
kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan
mereka kelihatannya ditimbulkan oleh pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil
Najdah terhadap khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti bani Umaiyyah.
Dala salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka memperoleh
harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya, sebagai
diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan, harta dan
tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut diantara
mereka sendiri. selanjutnya dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat
menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh Abdul Malik.
Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui pengikutnya,
karena Abdul Malik adalah musuh mereka.
Dalam
perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan anak Atiah al-Hanafi memisahkan
diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu
Fudaik dan Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat
mereka tangkap dan penggal lehernya.[8]
Ø Al-Ajaridah
Mereka
adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad yang menurut al-Syahratsani merupakan
salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
Kaum
al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah
merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ bin Azraq dan Najdah, tetapi
hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di
luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping
itu, harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta yang telah mati
terbunuh, sedang menurut al-Azariqah seluruh harta musuh bolehb dijadikan
rampasan perang. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah,
tidak musyrik menurut orangtuanya.
Selanjutnya
kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Qur’an
membawa cerita cinta dan Al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka tidak
mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa
surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur’an.[9]
Sebagai
golongan Khawarij lain, golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi
golongan- golongan kecil. Diantara mereka, yaitub golongan al-Maimuniah,
menganut paham qadariyah. Bagi
mereka, semua perbuatan manusia baik dan buruk, timbul dari kemauan dan
kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziyah juga mempunyai paham yang sama.
Tetapi golongan al-Syu’aibiyah dan al-Hazimiyah menganut paham sebaliknya. Bagi
mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak
dapat menentang kehendak Allah.
Ø Al-Sufriyah
Pemimpin
golongan ini ialah Ziyad bin Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan
golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim.
Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah
pendapat-pendapat berikut:
a.
Orang
Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.
Mereka
tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.
Selanjutnya,
tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi
musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa
yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina, dan dosa yang tak ada
sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang
berbuat dosa golongan pertama tidak dianggap kafir. Sedangkan golongan yang
kedua dianggap kafir.
d.
Daerah
golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah
ma’askar atau camp pemerintah, sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh
dijadikan tawanan.
e.
Kufr dibagi
dua: kurf bi inkar al-ni’mah yaitu
mengingkari rahmat Tuhan. Dan kufr bi
inkar al-rububiyah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir
tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.[10]
Di
samping pendapat-pendapat diatas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi
mereka:
a.
Taqiyah hanya
boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.
Tetapi
walaupun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan
Islam.[11]
Ø Al-Ibadiyah
Golongan
ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij.
Namanya diambil dari Abdullah bin Ibad, yang apada tahun 686 M, memisahkan diri
dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari
ajaran-ajaran berikut:
a.
Orang
Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik,
tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh
mereka adalah haram.
b.
Daerah
orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar
tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi. Yang
merupakan dar kufr, yaitu yang harus
diperangi hanyalah ma’askar pemerintah.
c.
Orang
Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid
yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan
dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
d.
Yang
boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus
dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti di atas
membuat Abdullah bin Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam
melawan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia mempunyai hubungan yang
baik dengan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian pula halnya dengan Jabir
bin Zaid al-Azdi, pemimpin al-Ibadiyah sesudah Ibnu Ibad, mempunyai hubungan
baik dengan al-Hajjaj, pada waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya
memerangi golongan-golongan Khawarij yang berpaham dan bersikap ekstrim.
Oleh karena itu, jika golongan Khawarij lainnya telah
hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-Ibadiyah ini masih ada
sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia
Selatan.[12]
D. Pengaruh ajaran Khawarij
Sekte al-Khawarij
mempunyai beberapa mazhab dan masing-masing mazhab memiliki pegangan dan
prinsip tersendiri. Namun mereka para imam-imam mazhab sepakat dengan satu
prinsip utama mereka yaitu mengkafirkan sahabat Nabi saw sayyidina Ali bin Abi
Thalib ra, Sayyidina Usman bin Affan ra Muawiyyah bin Abu Sufyan ra, Amr bin
Ash ra, dan semua yang terlibat dalam proses arbitrase atau tahkim, sampai
kepada kelompok pelaku dosa yang diluar al-Khawarij juga divonis Kafir.
Golongan
al-Muhakkimah menganggap orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemudian
al-Azariqah mudah mengkafirkan selain dari kelompok mereka, haram mengkosumsi
sembelihan dari selain kelompok mereka dan membunuh orang-orang yang berbeda
paham dengan mereka. Sedangkan al-Najdat berprinsip bahwa tidak ada keperluan
manusia kepada imam selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka
perlu diangkat, jika tidak diperlukan, maka tidak boleh diangkat. Dalam
golongan al-Ajaridah menganggap Surat Yusuf bukanlah bagian dari Al-Qur’an.
Ajaran al-Sufriyah memperbolehkan
perempuan Islam menikah dengan lelaki kafir. Selanjutnya al-Ibadiyah adalah
golongan yang moderat dari subsekte yang lainnya. Orang yang melakukan dosa
besar tidak divonis kafir dan tidak harus diperangi.
BAB
III
KESIMPULAN
Khawarij
merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi
Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak
sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam
perang Shiffin
pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin
Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
Peristiwa Tahkim yang justru
merugikan pihak Ali, mengakibatkan banyak pengikut Ali telah ingkar yang
kemudian hari disebut kaum Khawarij. Akhirnya Khawarij terpecah-pecah dalambeberap sub-sekte, di antaranya
ialah:
1.
Al-Muhakkimah
2.
Al-Azariqah
3.
Al-Najdat
4.
Al-Ajaridah
5.
Al-Sufriyah
6.
Al-Ibadiyah.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun. Teologi
Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Al-Syahratsani,
dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I.
Kairo: 1951.
Rozak, Abdul dan
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung:
CV. Pustaka Setia.
[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet. 2, Jakarta:
Universitas Indonesia Press,
1986. Hlm 13.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 14.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet. 2, Jakarta:
Universitas Indonesia Press,
1986. Hlm 16.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet. 2, Jakarta:
Universitas Indonesia Press,
1986. Hlm 17.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet. 2, Jakarta:
Universitas Indonesia Press,
1986. Hlm 19.
[9]
Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa
al-Nihal, Jilid I. Kairo: 1951. Hlm 128.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Cet. 2, Jakarta:
Universitas Indonesia Press,
1986. Hlm 22-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar