Jumat, 08 Juni 2012

Makalah Khawarij dan Pemikiran Kalamnya T 2A


BAB I
PENDAHULUAN
Latarbelakang Masalah
            Khawarij adalah salah satu nama aliran di dalam pembahasan ilmu kalam. Khawarij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
            Beberapa sebab mengapa aliran ini dinamakan Khawarij:
1.      Golongan ini keluar dari barisan Ali bin Abi Tholib. Mereka sebenarnya pengikut Ali, kaeana tidak setuju dengan tahkim atau perjanjian sebagai jalan keluar dala penyelesaian persengketaan tentang kholifah dengan Muawiyah bin Abi Sofyan.
2.      Khawarij berasal dari kata “khoroja” yang berarti keluar. Mengandung maksud bahwa mereka (sebagian pengikut Ali ) keluar dari barisan Ali.
Munculnya Khawarij yang memisahkan diri dari kekhalifahan Ali yang sah mencerminkan pergeseran persoalan dari politik ( kholifah ) menjadi masalah agama. Sebab mereka mengangap Ali telah berdosa dan telah menyeleweng dari ketentuan agama Islam.
Perlawanan khawarij tidak hanya kepada Ali saja akan tetapi pada Islam yang sah. Baik bani Umayah maupun bani Abasiyah. Karena mereka dianggap dinasti yang menyeleweng dari ketentuan agama Islam. Utsman dianggap juga menyeleweng sejak tahun ke-7 dari masa kekhalifahannya. Sedangkan Ali sejak peristiwa tahkim/perjanjian.

BAB II
PEMBAHASAN
Khawarij dan Pemikiran Kalamnya
A.    Sejarah Lahir
Khawarij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Siffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
Nama Khawarij berasal dari kata kharaja yang berarti keluar. Nama itu diberikan kepada mereka karena mereka keluar dari barisan Ali. Tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa pemberian nama itu didasarkan atas ayat 100 surat An-Nisa’, yang artinya: “Keluar dari rumah lari kepada Allah dan Rasul-Nya”. Dengan demikian, kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan rumah dari kampong halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.[1]
Kemudian mereka menyebut diri mereka dengan sebutan Syurah, yang berasal dari kata yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam 207 surat Al-Baqarah: “Ada manusia yang menjual dirinya untuk memperoleh keridhaan Allah”. Nama lain yang diberikan kepada mereka adalah Haruriah, dari kata Harura, satu desa yang terletak di dekat kota Kuffah, di Irak. Di tempat inilah mereka yang pada waktu itu berjumlah duabelas ribu orang, berkumpul setelah memisahkan diri dari Ali. Disini mereka memilih Abdullah bin Abi wahb Al-Rasidi menjadi imam mereka sebagai ganti dari Ali bin Abi Tholib. Dalam pertempuran dengan Ali, mereka mengalami kekalahan besar, tetapi akhirnya seorang Khariji bernama Abdurrahman bin Muljam dapat membunuh Ali.
Walaupun telah mengalami kekalahan, kaum Khawarij menyusun barisan kembali dan meneruskan perlawanan terhadap kekuatan Islam resmi baik di zaman dinasti Bani Umaiyyah maupun di zaman dinasti Bani Abbas. Pemegang-pemegang kekuasaan yang pada waktu itu mereka anggap telah menyeleweng dari Islam dan oleh karena itu mesti ditentang dan dijatuhkan.
Awalnya, khalifah atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab secara keseluruhan dapat mereka terima. Bahwa kedua khalufah ini diangkat dan bahwa keduanya tidak menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, mereka akui. Tetapi Usman bin Affan mereka anggap telah menyeleweng dari mulai tahun ke- 7 dari masa khalifahnya. Dan Ali juga mereka pandang menyeleweng sesudah peristiwa arbitrase.[2]
Sejak waktu itulah Usman dan Ali bagi mereka telah menjadi kafir. Demikian halnya dengan Mu’awiyyah, Amr bin As, Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang mereka anggap telah melanggar ajaran-ajaran Islam.[3]
B.     Ajaran-Ajaran Pokok Khawarij
Ajaran-pokok Khawarij antara lain:[4]
Ø  Kategori politik
1.      Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam.
2.      Khalifah tidak harus dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
3.      Khalifah dipilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat Islam. Ia harus dijatuhkan bahkan dibunuh bila melakukan kezhaliman.
4.      Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar dan Usman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke- 7 dari masa khalifah Usman dianggap telah menyeleweng.
5.      Khalifah Ali adalah tetapi setelah terjadi arbitrase, ia dianggap telah menyeleweng.
6.      Muawiyyiah dan Amr bin Ash serta Abu Musa al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah kafir.
7.      Pasukan Jamal yang melawan Ali juga kafir.
Ø  Kategori teologi
1.      Seseorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dinunuh. Yang sangat anarkis (kacau), mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanguung beban harus dilenyapkan pula.
2.      Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka.bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam dar al-Harb (Negara musuh), sedang golongan mereka sendiri dianggap berada dalam dar al-Islam (Negara Islam).
3.      Seseorang harus menghindar dari pemimpin yang menyeleweng.
4.      Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik masuk surge, sedangkan orang yang jahat masuk neraka).
Ø  Kategori sosial
1.      Amar ma’ruf nahi munkar.
2.      Memalingkan ayat-ayat Al-qur’an yang tampak mutasabihat.
3.      Al-Qur’an adalah makhluk
4.      Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan.

C.    Sekte-Sekte dan Ajarannya
Sekte-sekte yang ada di dalam Khawarij antara lain:

Ø  Al-Muhakkimah
Golongan Khawarij asli dan terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Menurut mereka, Ali, Muawiyyah, kedua pengantara Amr bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari dan semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Selanjutnya hukum kafir ini mereka luaskan artinya, sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar.
Berbuat zina dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka menurut mereka orang yang berzina telah menjadi kafir. Begitu pula membunuh sesama manusia tanpa sebab yang sah adalah dosa besar dan menjadi kafir. Demikian seterusnya dengan dosa-dosa besar yang lainnya.[5]
Ø  Al-Azariqah
Golongan yang dapat menyusun barisan baru dan besar serta kuat sesudah al-Muhakkimah hancur adalah golongan al-Azariqah. Daerah kekuasaan mereka terletak di perbatasan Irak dengan Iran. Nama ini diambil dari Nafi’ bin Azraq. Pengikutnya, menurut al-Baghdadi, berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Khalifah pertama yang mereka pilih ialah Nafi’ sendiri. Dan kepadanya mereka beri gelar Amir al-Mukminin. Nafi’ mati dalam pertempuran di Irak pada tahun 686 M.
Golongan ini sikapnya lebih radikal dari al-Muhakkimah. Mereka tidak lagi memakai term kafir, tetapi term musyrik atau polytheist.
Selanjutnya yang dipandang musyrik ialah semua orang Islam yang tak sepaham dengan mereka. Bahkan orang islam yang sepaham dengan al-Azariqah tapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang musyrik. Dengan kata lain, orang al-Azariqah sendiri yang tinggal di luar lingkungan mereka dan tidak mau pindah ke daerah kekuasaan mereka, juga dipandang musyrik. Dan barangsiapa yang datang ke daerah mereka dan mengakui al-Azariqah tidaklah diterima begitu saja, tetapi harus diuji. Kepadanya diserahkan seorang tawanan. Kalau tawanan ini ia bunuh, maka ia diterima dengan baik. Tetapi kalau tawanan itu tidak dibunuhnya, maka kepalanya sendiri yang mereka penggal.
Sikap yang tidak mau mencabut nyawa tawanan itu, memberi keyakinan kepada mereka bahwa ia berdusta dan sebenarnya bukan penganut paham al-Azariqah. Lebih lanjut lagi, bukan hanya orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, bahkan anak istri orang-orang yang demikianpun boleh ditawan dan dijadikan budak atau dibunuh.
Menurut paham subsekte yang ekstrim ini hanya merekalah yang sebenarnya orang Islam. Orang Islam yang di luar lingkungan mereka adalah kaum musyrik yang harus diperangi. Mereka selalu bertanya pendapat atau keyakinan seseorang. Siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam yang tak termasuk dalam golongan al-Azariqah, mereka bunuh.[6]
Ø  Al-Najdat
Najdah bin Amir al-Hanafi dari Yamamah dengan pengikut-pengikutnya pada mulanya ingin menggabungkan diri dengan golongan al-Azariqah. Tetapi dalam golongan yang tersebut akhir ini timbul perpecahan. Sebagian dari pengikut- pengikut Nafi’ bin Azraq, diantaranya adalah Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan Atiah al-Hanafi, tidak dapat menyetujui paham bahwa orang Azraqi yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik. Demikian pula mereka yang tak setuju dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang- orang Islam yang tak sepaham dengan mereka.
Abu Fudaik dengan teman-teman serta pengikutnya memisahkan diri dari Nafi’ dan pergi ke Yamamah. Disini mereka dapat menarik Najdah ke pihak mereka dalam pertikaian paham dengan Nafi’, sehingga Najdah dengan pengikut-pengikutnya membatalkan rencana untuk berhijrah ke daerah kekuasaan al-Azariqah. Pengikut Abu Fudaik dan pengikut Najdah bersatu dan memilih Najdah sebagai imam baru. Nafi’ bin Azraq tidak lagi diakuisebagai imam. Nafi’ telah mereka pandang kafir dan demikian pula orang yang masih mengakuinya sebagai imam.
Najdah berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sepaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika melakukan dosa besar, betul akan mendapatkan siksaan, tetapi bukan di dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.[7]
Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalu dikerjakan terus menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.
Seterusnya ia berpendapat bahwa yang diwajibkan bagi tiap-tiap muslim ialah mengetahui Allah dan rasul-rasul-Nya, mengetahui haram membunuh orang Islam dan percaya pada seluruh apa yang diwahyukan Allah kepada rasul-Nya. Orang yang tak mengetahui ini tak dapat diampuni. Yang dimaksud orang-orang Islam disini adalah pengikut-pengikut Najdah. Dalam hal-hal selain tersebut diatas, orang Islam tidak diwajibkan mengetahuinya. Kalau ia mengerjakan sesuatu yang haram dengan tidaktahu bahwa hal itu haram, ia dapat dimaafkan.
Dalam kalangan al-Khawarij, golongan inilah yang membawa paham taqiah, yaitu merahasiakan dan tidak menyatakan keyakinan untuk keamanan diri seseorang. Taqiah, menurut pendapat mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi juga dalam bentuk perbuatan.
Tetapi tidak pula semua pengikut Najdah setuju dengan pendapat dan ajaran-ajaran diatas, terutama paham bahwa dosa besar tidak membuat pengikutnya menjadi kafir, dan bahwa dosa kecil bisa menjadi dosa besar. Perpecahan di kalangan mereka kelihatannya ditimbulkan oleh pembagian ghanimah (barang rampasan perang) dan sikap lunak yang diambil Najdah terhadap khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti bani Umaiyyah. Dala salah satu serangan yang dipimpin anak Najdah sendiri, mereka memperoleh harta dan tawanan. Tetapi sebelum dikeluarkan seperlima daripadanya, sebagai diwajibkan dalam syari’at dan sebelum mereka kembali ke pangkalan, harta dan tawanan itu telah dibagi oleh yang turut dalam serangan tersebut diantara mereka sendiri. selanjutnya dalam serangan terhadap kota Madinah mereka dapat menawan seorang anak perempuan yang diminta kembali oleh Abdul Malik. Permintaan ini dikabulkan oleh Najdah, hal mana tak dapat disetujui pengikutnya, karena Abdul Malik adalah musuh mereka.
Dalam perpecahan ini Abu Fudaik, Rasyid al-Tawil dan anak Atiah al-Hanafi memisahkan diri dari Najdah. Atiah mengasingkan diri ke Sajistan di Iran, sedang Abu Fudaik dan Rasyid mengadakan perlawanan terhadap Najdah. Akhirnya Najdah dapat mereka tangkap dan penggal lehernya.[8]
Ø  Al-Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad yang menurut al-Syahratsani merupakan salah satu teman dari Atiah al-Hanafi.
Kaum al-Ajaridah bersifat lebih lunak karena menurut paham mereka berhijrah bukanlah merupakan kewajiban sebagai diajarkan oleh Nafi’ bin Azraq dan Najdah, tetapi hanya merupakan kebajikan. Dengan demikian kaum al-Ajaridah boleh tinggal di luar daerah kekuasaan mereka dengan tidak dianggap menjadi kafir. Disamping itu, harta yang boleh dijadikan rampasan perang hanyalah harta yang telah mati terbunuh, sedang menurut al-Azariqah seluruh harta musuh bolehb dijadikan rampasan perang. Seterusnya mereka berpendapat bahwa anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut orangtuanya.
Selanjutnya kaum Ajaridah ini mempunyai paham puritanisme. Surat Yusuf dalam Al-Qur’an membawa cerita cinta dan Al-Qur’an sebagai kitab suci, kata mereka tidak mungkin mengandung cerita cinta. Oleh karena itu mereka tidak mengakui bahwa surat Yusuf sebagai bagian dari Al-Qur’an.[9]
Sebagai golongan Khawarij lain, golongan Ajaridah ini juga terpecah belah menjadi golongan- golongan kecil. Diantara mereka, yaitub golongan al-Maimuniah, menganut paham qadariyah. Bagi mereka, semua perbuatan manusia baik dan buruk, timbul dari kemauan dan kekuasaan manusia sendiri. Golongan al-Hamziyah juga mempunyai paham yang sama. Tetapi golongan al-Syu’aibiyah dan al-Hazimiyah menganut paham sebaliknya. Bagi mereka Tuhanlah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak dapat menentang kehendak Allah.
Ø  Al-Sufriyah
Pemimpin golongan ini ialah Ziyad bin Asfar. Dalam paham, mereka dekat sama dengan golongan al-Azariqah dan oleh karena itu juga merupakan golongan yang ekstrim. Hal-hal yang membuat mereka kurang ekstrim dari yang lain adalah pendapat-pendapat berikut:
a.       Orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dipandang kafir.
b.      Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh.
c.       Selanjutnya, tidak semua mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar menjadi musyrik. Ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa golongan pertama tidak dianggap kafir. Sedangkan golongan yang kedua dianggap kafir.
d.      Daerah golongan Islam yang tak sepaham dengan mereka bukan dar harb yaitu daerah yang harus diperangi; yang diperangi hanyalah ma’askar atau camp pemerintah, sedang anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan.
e.       Kufr dibagi dua: kurf bi inkar al-ni’mah yaitu mengingkari rahmat Tuhan. Dan kufr bi inkar al-rububiyah yaitu mengingkari Tuhan. Dengan demikian term kafir tidak selamanya harus berarti keluar dari Islam.[10]
Di samping pendapat-pendapat diatas terdapat pendapat-pendapat yang spesifik bagi mereka:
a.       Taqiyah hanya boleh dalam bentuk perkataan dan tidak dalam bentuk perbuatan.
b.      Tetapi walaupun demikian, untuk keamanan dirinya perempuan Islam boleh  kawin dengan lelaki kafir, di daerah bukan Islam.[11]
Ø  Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Namanya diambil dari Abdullah bin Ibad, yang apada tahun 686 M, memisahkan diri dari golongan al-Azariqah. Paham moderat mereka dapat dilihat dari ajaran-ajaran berikut:
a.       Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetapi kafir. Dengan orang Islam yang demikian boleh diadakan hubungan perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima. Membunuh mereka adalah haram.
b.      Daerah orang Islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah merupakan dar tawhid, daerah orang yang meng-Esa-kan Tuhan, dan tak boleh diperangi. Yang merupakan dar kufr, yaitu yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah.
c.       Orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam.
d.      Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan perak harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Tidaklah mengherankan kalau paham moderat seperti di atas membuat Abdullah bin Ibad tidak mau turut dengan golongan al-Azariqah dalam melawan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Bahkan ia mempunyai hubungan yang baik dengan khalifah Abdul Malik bin Marwan. Demikian pula halnya dengan Jabir bin Zaid al-Azdi, pemimpin al-Ibadiyah sesudah Ibnu Ibad, mempunyai hubungan baik dengan al-Hajjaj, pada waktu yang tersebut akhir ini dengan kerasnya memerangi golongan-golongan Khawarij yang berpaham dan bersikap ekstrim.
Oleh karena itu, jika golongan Khawarij lainnya telah hilang dan hanya tinggal dalam sejarah, golongan al-Ibadiyah ini masih ada sampai sekarang dan terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, Umman dan Arabia Selatan.[12]
D.      Pengaruh ajaran Khawarij
Sekte al-Khawarij mempunyai beberapa mazhab dan masing-masing mazhab memiliki pegangan dan prinsip tersendiri. Namun mereka para imam-imam mazhab sepakat dengan satu prinsip utama mereka yaitu mengkafirkan sahabat Nabi saw sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayyidina Usman bin Affan ra Muawiyyah bin Abu Sufyan ra, Amr bin Ash ra, dan semua yang terlibat dalam proses arbitrase atau tahkim, sampai kepada kelompok pelaku dosa yang diluar al-Khawarij juga divonis Kafir.
            Golongan al-Muhakkimah menganggap orang yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemudian al-Azariqah mudah mengkafirkan selain dari kelompok mereka, haram mengkosumsi sembelihan dari selain kelompok mereka dan membunuh orang-orang yang berbeda paham dengan mereka. Sedangkan al-Najdat berprinsip bahwa tidak ada keperluan manusia kepada imam selama-lamanya, namun sekiranya umat memerlukan pemimpin maka perlu diangkat, jika tidak diperlukan, maka tidak boleh diangkat. Dalam golongan al-Ajaridah menganggap Surat Yusuf bukanlah bagian dari Al-Qur’an. Ajaran al-Sufriyah memperbolehkan perempuan Islam menikah dengan lelaki kafir. Selanjutnya al-Ibadiyah adalah golongan yang moderat dari subsekte yang lainnya. Orang yang melakukan dosa besar tidak divonis kafir dan tidak harus diperangi.
BAB III
KESIMPULAN
            Khawarij merupakan suatu sekte/ kelompok/ aliran yang menjadi pengikut Ali bin Abi Tholib yang keluar dari barisan Ali dan meninggalkannya karena mereka tidak sepakat dengan keputusan Ali tentang pelaksanaan Tahkim atau Arbitrase, dalam perang Shiffin pada tahun 37 H atau 648 M, dengan kelompok Bughoh (pemberontak) Muawwiyah bin Abi Sufyan tentang persengketaan khilafah.
Peristiwa Tahkim yang justru merugikan pihak Ali, mengakibatkan banyak pengikut Ali telah ingkar yang kemudian hari disebut kaum Khawarij. Akhirnya Khawarij terpecah-pecah dalambeberap sub-sekte, di antaranya ialah:
1.      Al-Muhakkimah
2.      Al-Azariqah
3.      Al-Najdat
4.      Al-Ajaridah
5.      Al-Sufriyah
6.      Al-Ibadiyah.








DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I. Kairo: 1951.
Rozak, Abdul dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia.


[1] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 13.
[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 14.
[3] Ibid, hlm 14
[4] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm 54.
[5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 16.
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 17.
[7] Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I. Kairo: 1951. Hlm 124.
[8] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 19.
[9] Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I. Kairo: 1951. Hlm 128.
[10] Al-Syahratsani, dkk, Al-Milal Wa al-Nihal, Jilid I. Kairo: 1951. Hlm 137.
[11] Ibid, 137
[12] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 2, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. Hlm 22-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar