TAFSIR SURAT AL-FATIHAH
Surat Al-Fatihah yang merupakan surat pertama dalam
Al Qur’an dan terdiri dari 7 ayat adalah masuk kelompok surat Makkiyyah, yakni
surat yang diturunkan saat Nabi Muhammad di kota Mekah. Dinamakan Al-Fatihah,
lantaran letaknya berada pada urutan pertama dari 114 surat dalam Al Qur’an.
Para ulama bersepakat bahwa surat yang diturunkan lengkap ini merupakan
intisari dari seluruh kandungan Al Qur’an yang kemudian dirinci oleh
surat-surat sesudahnya. Surat Al-Fatihah adalah surat Makkiyyah, yaitu
surat yang diturunkan di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Surat
ini berada di urutan pertama dari surat-surat dalam Al-Qur’an dan terdiri dari
tujuh ayat. Tema-tema besar Al Qur’an seperti masalah tauhid, keimanan, janji
dan kabar gembira bagi orang beriman, ancaman dan peringatan bagi orang-orang
kafir serta pelaku kejahatan, tentang ibadah, kisah orang-orang yang beruntung
karena taat kepada Allah dan sengsara karena mengingkari-Nya, semua itu
tercermin dalam surat Al Fatihah.
Kedudukan surat
Al-Fatihah di dalam Al-Qur’an adalah sebagai sumber ajaran Islam yang mencakup
semua isi Al-Qur’an. Dari
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “Al-Hamdulillah
(Al-Fatihah) adalah Ummul Qur’an, Ummul Kitab, As-Sab’ul Matsaani dan
Al-Qur’anul Adhim.” (HR. At-Tirmidzi dengan sanad shahih). Dinamakan dengan
Ummul Kitab atau Ummul Qur’an, yaitu induk Al-Qur’an, karena di dalamnya
mencakup inti ajaran Al-Quran.
Tafsiran surat Al-Fatihah
Ayat
pertama:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa memulai
sesuatu dengan menyebut nama Allah merupakan adab yang diwahyukan Allah kepada
nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam pada permulaan turunnya wahyu
Al-Qur’an ini sebagaimana telah disepakati, yaitu firman Allah, “Bacalah
dengan menyebut nama Tuhanmu. . .”[1]
Dengan menyebut sifat
Allah SWT di dalam memulai sesuatu dengan Ar-Rahman Ar-Rahim, mencakup seluruh
makna rahmat dan keadaannya. Dan Dia sendiri sajalah yang khusus menghimpun
kedua sifat ini, seperti halnya cuma Dia sendiri yang khusus memiliki sifat Ar-Rahman.
Maka boleh saja seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya diberi sifat rahman ,
lebih-lebih melekatkan kedua sifat itu pada dirinya.
Apabila
segala sesutau dimulai dengan menyebut nama Allah yang mengandung tauhidullah
dan adab terhadap-Nya itu menggambarkan keglobalan pertama dalam tashawwur
Islam. Maka cakupan makna-makna rahmat, keadaan-keadaannya, dan
lapangan-lapangannya dalam kedua sifat “Ar-Rahman Ar-Rahim” itu menggambarkan
keglobalan kedua dalam tashawwur ini dan menetapkan hakikat hubungam antara
Allah dan hamba-hamba-Nya.
Dalam
tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa permulaan ayat surat Al-Fatihah itu sesuai
dengan kaidah utama ajaran Islam yang menyatakan Allah adalah al-Awwal wal Akhir, Wal zhahir wal Bathin/
Dia yang Pertama dan Dia pula yang Terakhir, Dia yang Nampak dengan jelas
(bukti-bukti wujud-Nya) Dan Dia pula yang Tersembunyi (terhadap siapapun
hakikat-Nya). Dia Yang Maha Suci itu yang merupakan wujud yang haq, yang
dari-Nya semua wujud memperoleh wujudnya, dan dari-Nya bermula semua yang
memiliki permulaan. Karena itu dengan nama-Nya, segala sesuatu harus dimulai
dan dengan nama-Nya terlaksana gerak dan arah.[2]
Ayat kedua:
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam
kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa “Segala puji bagi Allah”, inilah perasaan yang melimpah masuk kedalam hati seorang
mukmin, hanya semata-mata ingatnya kepada Allah. Karena keberadaannya sejak
awal adalah limpahan dari sekian limpahan nikmat Ilahi yang menghimpun pujian
dan sanjungan. Oleb karena itu, mengucapkan “Alhamdulillah” di dalam
memulai sesuatu dan mengakhirinya merupakan salah satu kaidah diantara
kaidah-kaidah tashawwur Islam secara langsung. Disamping itu, sampai dan
melimpah pulalah karunia Allah SWT kepada hamba-Nya yang beriman, yaitu apabila
dia mengucapkan “Alhamdulillah” maka Allah menulis untuknya satu
kebajikan yang memberatkan semua timbangan kebajikannya.
Adapun bagian terakhir ayat yang
berbunyi “Rabbil ‘aalamin” (Tuhan semesta alam), hal ini juga
menggambarkan kaidah tashawwur Islam. Kata “Rabb” berarti Yang Berkuasa,
Yang Memberlakukan/Yang bertindak. Tindakan memperbaiki dan memelihara itu
meliputi semesta alam-seluruh makhluk-sedangkan Allah SWT tidak menciptakan
alam semesta lantas membiarkannya sia-sia. Akan tetapi, Dia selalu
memperbaikinya, memeliharanya dan merawatnya. Juga seluruh alam dan semua
makhluk dipelihara dan dijaga dengan pemeliharaan Allah Tuhan semesta alam.
Maka hubungan antara Al-Khaliq dan semua makhluk itu senantiasa terjadi dan
berlaku setiap waktu dan pada setiap keadaan.[3]
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa
memuji Allah adalah luapan rasa syukur yang memenuhi jiwa seorang mukmin ketika
mendengar nama-Nya disebut. Karena keberadaan seseorang sejak semula di pentas
bumi ini tidak lain kecuali limpahan nikmat Ilahi yang mengundang rasa syukur
dan pujian. Setiap kejapan, setiap saat dan pada setiap langkah, silih berganti
anugerah Allah berduyun-duyun lalu menyatu dan tercurah kepada seluruh makhluk,
khususnya manusia. Karena itu wajar memulai dengan memuji-Nya dan mengakhiripun
dengan menuji-Nya. Ini juga sebagai kaidah utama ajaran Islam, “ Dia Allah.
Tiada Tuhan selain Dia. Bagi-Nya saja segala puji sejak awal (dalam kehidupan
dunia ini) dan di akhirat nanti”. (Al-Qashash: 70).[4]
Lanjutan ayat ini yang menyatakan
Allah Rabb al-alamin. Kata rabb, seakar dengan kata tarbiyah, yaitu
mengarahkan suatu tahap demi tahap , menuju kesempurnaan kejadian dan
fungsinya. Penggalan ayat ini merupakan keterangan lebih lanjutnya yang
membuktikan layaknya Allah SWT mendapat pujian. Allah wajar dipuja dan dipuji
karena keindahan kebaikan dan kebenaran yang disandang-Nya. Selanjutnya Dia
dipuja dan dipuji karena rububiyyah-Nya (pemeliharaan) itu. Bermula dari
mewujudkan makhluk termasuk manusia dari tiada, sampai membimbing mereka untuk
mencapai tujuan penciptaan hingga memelihara dan memasukkan manusia kelak di
surga-Nya. Jika ada yang bertanya, “Mengapa pujian harus dikembalikan atau
ditujukan kepada Allah semata?” jawabannya adalah karena Dia Tuhan Pemeliahara
seluruh alam.[5]
Ayat ketiga:
“Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang.” Dalam
kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa sifat ini meliputi semua
rahmat dengan semua keadaaan dan lapangannya. Kalimat ini diulangi lagi disini,
di dalam teks surat dalam ayat tersendiri, untuk menegaskan sifat yang jelas
dan terang di dalam masalah rububiyyah
yang meliputi itu dan untuk memantapkan pilar-pilar hubungan yang abadi antara Rabb dengan marbub (hamba-Nya), antara al-Khaliq
dengan makhluk-Nya, bahwa hubungan itu adalah hubungan rahmat (kasih
sayang) dan pemeliharaan yang menghimpun pujian dan sanjungan.[6]
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa pemeliharaan tidak dapat terlaksaana dengan baik dan sempurna kecuali
bila disertai oleh rahmat kasih sayang. Oleh karena itu ayat ini menggaris
bawahi kedua sifat Allah inisetelah sebelumnya menegaskan bahwa Allah adalah
Pemelihara seluruh alam. Pemeliharan-Nya itu bukan atas dasar
kesewenang-wenangan, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.
Ayat ketiga ini tidak dapat dianggap
sebagai pengulangan sebagian kandungan ayat pertama (Basmalah). Kalimat ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini bertujuan menjelaskan bahwa pendidikan
dan pemeliharaan Allah sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali
bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih. Pendidikan dan pemeliharaan
tersebut semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan
kepada makhluk-makhluk-Nya.[7]
Ayat
keempat:
“Yang
menguasai hari pembalasan.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an
dijelaskan bahwa ayat ini menggambarkan keseluruhan besar yang mendalam
pengaruhnya bagi kehidupan seluruh manusia, yaitu kepercayaan global terhadap
akhirat. “Malik” adalah puncak
tingkat kekuasaan dan “yaumiddin” adalah
hari pembalasan di akhirat.
Oleh karena itu, akidah menyeluruh
ini dianggap sebagai persimpangan jalan antara ubudiyah kepada kepentingan dan
keinginan dengan kebebasan yang layak bagi manusia, antara ketundukan terhadap
ide-ide duniawi dan nilai-nilainya serta timbangannya dengan kebergantungan kepada
nilai-nilai Rabbaniyyah yang jauh
mengungguli logika jahiliyah. Persimpangan jalan antara kemanusiaan dengan
hakikatnya yang tinggi yang dikehendaki Allah bagi hamba-hamba-Nya dan
pemikiran-pemikiran kotor dan menyimpang yang tidak akan dapat mencapai kesempurnaan.[8]
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa Pemelihara dan Pendidik yang Rahman
dan Rahim boleh jadi tidak memiliki (sesuatu).
Sedang sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kekuasaan.
Oleh karena itu kepemilikan dan kekuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan.
Thahir Ibn Asyur menulis bahwa
penempatan ayat ini setelah penyebutan sifat-sifat Allah SWT yang lalu, bukan sekedar untuk memaparkan
sifat-sifat-Nya, tetapi ia merupakan akibat dari sifat-sifat yang telah dipaparkanpada
ayat-ayat yang lalu. Ayat-ayat yang lalu menyifati Tuhan Yang Maha Esa itu
dengan Rabb al-‘alamin dan ar-Rahman ar-Rahim yang menunjukkan betapa sempurna kasih
sayang-Nya terhadap makhluk dan bahwa perlakuan-Nya terhadap mereka adalah atas
dasar pemeliharaan, bimbingan dan pendidikan yang mencakup perintah dan
larangan guna kemaslahatan mereka, walaupun pada umumnya perintah dan larangan
itu tidak sejalan dengan dorongan nafsu mereka, serta terasa berat olehnya.
Dari sini terdorong oleh kekhawatiran adanya orang yang hanya mengandalkan
rahmat dan kasih Allah serta pendidikan dan bimbingan–Nya yang disinggung
sebelum ini, sehingga mengantar mereka mengabaikan tuntutan-tuntuan Allah. Maka
sangat perlu menggaris bawahi bahwa Allah yang Rahman dan Rahim serta
Pemeliahara dan Pembimbing itu juga adalah Dia Pemilik hari Kemudian. Disana
kelak Dia akan memberi setiap jiwa balasan dan ganjaran sesuai dengan amal
perbuatan mereka. Informasi itu diharapkan akan mendorong setiap orang untuk
melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[9]
Ayat
kelima:
“Hanya
kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan.” Dalam kitab tafsir Fi
Zhilalil Qur’an dijelaskan bahwa inilah akidah menyeluruh yang bersumber dari
keseluruhan akidah yang disebutkan. Maka, tidak ada ibadah kecuali kepada Allah
dan tidak ada isti’anah (permohonan
pertolongan) kecuali kepada Allah juga.[10]
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa kandungan surat Al-Fatihah menurut sebuah hadits dibagi Allah SWT menjadi
dua. Setengah untuk-Nya dan setengah untuk hamba-Nya. Rasulullah SAW bersabda:
“Allah berfirman: aku membagi shalat anatar Aku dan hamba-Ku separuh-separuh,
dan untuk hamba-Ku apa yang dia mohonkan. Maka apabila seorang berkata/membaca,
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (segala
puji bagi Allah Pemelihara seluruh alam), Allah menyambut dengan berfirman:
“Aku dipuja hamba-Ku”, dan apabila dia membaca, Arrahmanirrahim, Allah berfirman: “Aku dipuji hamba-Ku”, dan bila
dia membaca, Maliki yaumiddin, (Pemilik
hari Pembalasan) Allah berfirman: “Aku diagungkan oleh hamba-Ku”, dan apabila
dia membaca, iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in, (Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon
bantuan), Allah berfirman: “Ini antara Aku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa
yang dia mohonkan.” Dan apabila dia membaca, Ihdina ash-shiratal mustaqim shiratal ladziina an’amta ‘alaihim ghairil
maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhaalliin (jalan mereka yang Engkau beri
nikmat, bukan jalan mereka yang dimurkai, bukan juga yang sesat), maka Allah
berfirman: “Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia mohonkan.” (HR.
Muslim memalui Abu Hurairah).[11]
Yang
dimaksud sholat dalam hadits di atas adalah ayat-ayat surat Al-Fatihah.
Redaksi ayat ini, Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya
kepada-Mu kami memohon bantuan, adalah bukti bahwa kalimat-kalimat tersebut
adalah pengajaran.
Ayat
keenam:
“Tunjukkanlah
kami jalan yang lurus.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an dijelaskan
bahwa maksudnya adalah “Berilah taufik kepada kami untuk mengetahui jalan hidup
yang lurus yang dapat menyampaikan kepada tujuan dan berilah kami pertolongan
untuk tetap istiqamah di jslsn itu setelah kami mengetahuinya.”[12]
Maka, ma’rifah[13] dan istiqamah,
keduanya adalah buah hidayah Allah, pemeliharaan-Nya dan rahmat-Nya. Dan
menghadapkan diri kepada Allah dalam urusan seperti ini merupakan buah akidah
dan keyakinan bahwa hanya Dia sendiri yang dapat memberi pertolongan. Dan ini
merupakan urusan yang terbesar dan pertama kali diminta oleh orang mukmin
kepada Tuhannya agar dia menolongnya.
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa ayat ini merupakan pernyataan seorang hamba tentangt ketulusannya beribadah
serta kebutuhannya kepada pertolongan Allah. Dengan ayat ini sang hamba
mengajukan permohonan kepada Allah, yakni bimbing dan antarlah kami memasuki
jalan lurus.
Kata ihdina terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf ha’, dal dan ya’. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama tampil ke depan memberi petunjuk dan kedua menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian
sesuatu dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati.
Petunjuk tingkat pertama (naluri)
terbatas pada penciptaan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri
tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh pemilik naluri ini. Pada
saat datang kebutuhannya untuk mencapai sesuatu yang berada di luar dirinya,
sekali lagi manusia membutuhkan petunjuk dan kali ini Allah menganugerahkan
petunjuk-Nya berupa panca indra.
Namun, betapapun tajam dan kepekaan
kemampuan indra manusia, seringkali hasil yang diperolehnya tidak menggambarkan
hakikat yang sebenarnya. Betapapun tajamnya mata seseorang, ia akan melihat
tongkat yang lurus menjadi bengkok di dalam air. Karena itu, manusia memerlukan
petunjuk yang melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan
kekeliruan-kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah
yang dimaksud adalah hidayah agama.[14]
Ayat
ketujuh:
“(Yaitu)
jalan orang-orang yang telah engkau
anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat.” Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Qur’an
dijelaskan bahwa maksudnya adalah jalan orang-orang yang telah Allah bagikan
rahmat-Nya kepada mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai karena mereka sudah
mengetahui kebenaran, tetapi kemudian berpaling darinya, dan bukan pula jalan
orang-orang yang tersesat dari kebenaran sehingga tidak tahu jalan kebenaran
sama sekali. Jalan itu adalah jalan orang-orang yang berbahagia, yang mendapat
petunjuk, yang akan sampai kepada keridhaan Allah.[15]
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan
bahwa nikmat adalah kesenangan hidup dan kenyamanan yang sesuai dengan diri
manusia. Nikmat menghasilkan suatu kondisi yang menyenangkan serta tidak
mengakibatkan hal-hal negatif, baik material maupun immaterial. Kata ini mencakup
kebajikan duniawi dan ukhrawi. Sementara ulama menyatakan bahwa pengertian
asalnya berarti “kelebihan” atau “pertambahan.” Nikmat adalah sesuatu yang baik
dan berlebih dari apa yang telah dimiliki sebelumnya.
Sejarah dan pengalaman sehari-hari
membuktikan bahwa ketaan kepada Allah SWT atau dengan kata lain melaksanakan
kebenaran dan kebajikan, menghasilkan imbalan baik. Kalau bukan saat itu,
paling tidak pada akhirnya. Demikian pula pembangkangan terhadap kebenaran
menimbulkan penyesalan, bahkan siksaan paling sedikit adalah siksaan batin. Kalau
bukan sesaat sesudah pelanggaran itu, maka tentu pada akhirnya.
Tentang siapakah al-maghdhub ‘alaihim, ayat ini tidak
menjelaskannya. Sementara ulama tafsir berdasarkan keterangan suatu hadits Nabi
SAW, menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang Yahudi. Al-Qur’an juga
memberitakan bahwa orang-orang Yahudi mengenal kebenaran namun enggan
mengikutinya. Atas dasar ini, para ulama tafsir lain memperluas pengertian al-maghdhub ‘alaihim sehingga mencakup
semua yang telah mengenal kebenaran namun enggan mengikutinya.[16]
Pokok-pokok
ajaran keimanan dalam surat Al-Fatihah
Pokok ajaran keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa terdapat dalam ayat
2, dimana dinyatakan dengan tegas bahwa segala puji dan ucapan syukur atas
suatu nikmat itu bagi Allah, karena Allah adalah Pencipta dan sumber segala
nikmat yang terdapat dalam alam ini. Di antara nikmat itu ialah : nikmat
menciptakan, nikmat mendidik dan menumbuhkan, sebab kata Rabb dalam
kalimat Rabbil 'aalamiin tidak hanya berarti Tuhan atau Penguasa, tetapi
juga mengandung arti tarbiyah, yaitu mendidik dan menumbuhkan. Hal ini
menunjukkan bahwa segala nikmat yang dilihat oleh seseorang dalam dirinya
sendiri dan dalam segala alam ini bersumber dari Allah, karena Tuhanllah Yang
Maha Berkuasa di alam ini. Pendidikan, penjagaan dan Penumbuhan oleh Allah di
alam ini haruslah diperhatikan dan dipikirkan oleh manusia sedalam-dalamnya,
sehingga menjadi sumber pelbagai macam ilmu pengetahuan yang dapat menambah
keyakinan manusia kepada keagungan dan kemuliaan Allah, serta berguna bagi
masyarakat. Oleh karena keimanan (ketauhidan) itu merupakan masalah yang pokok,
maka di dalam surat Al-Faatihah tidak cukup dinyatakan dengan isyarat saja,
tetapi ditegaskan dan dilengkapi oleh ayat 5, yaitu : Iyyaaka na'budu wa
iyyaka nasta'iin (hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, dan hanya kepada
Engkau-lah kami mohon pertolongan). Janji memberi pahala terhadap perbuatan
yang baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.
Yang dimaksud dengan Yang Menguasai Hari Pembalasan ialah
pada hari itu Allahlah yang berkuasa, segala sesuatu tunduk kepada
kebesaran-Nya sambil mengharap nikmat dan takut kepada siksaan-Nya. Hal ini
mengandung arti janji untuk memberi pahala terhadap perbuatan yang baik dan
ancaman terhadap perbuatan yang buruk. Ibadah yang terdapat pada ayat 5
semata-mata ditujukan kepada Allah.
Pokok-pokok
ajaran ibadah dalam surat Al-Fatihah
Pokok
ajaran ibadah dalam surat Al-Fatihah terdapat pada ayat kelima: “Kami hanya
menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam
ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal
asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan
mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya
pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah.
Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini
adalah kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta
tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Pokok-pokok
ajaran syari’at dalam surat Al-Fatihah
Pokok ajaran syari’at dalam surat
Al-Fatihah terdapat pada ayat keenam: “Tunjukkanlah kamijalan yang lurus.” Jalan
kebahagiaan dan bagaimana seharusnya menempuh jalan itu untuk memperoleh
kebahagiaan dunia dan akhirat. Maksud "Hidayah" disini ialah hidayah
yang menjadi sebab dapatnya keselamatan, kebahagiaan dunia dan akhirat, baik
yang mengenai kepercayaan maupun akhlak, hukum-hukum dan pelajaran.
Pokok-pokok ajaran tentang kisah dalam surat Al-Fatihah
Ajaran tentang kisah di dalam surat Al-Fatihah
para ahli tafsir beranggapan bahwa yang dimaksud adalah kisah para Nabi
dan kisah orang-orang dahulu yang menentang Allah. Sebagian besar dari
ayat-ayat Al -Quran memuat kisah-kisah para Nabi dan kisah orang-orang dahulu
yang menentang. Dalam ayat terakhir,
yang dimaksud dengan orang yang diberi nikmat ialah para Nabi, para
shiddiqiin (orang-orang yang sungguh-sungguh beriman), syuhadaa' (orang-orang
yang mati syahid), shalihiin (orang-orang yang saleh). Orang-orang yang
dimurkai dan orang-orang yang sesat, ialah golongan yang menyimpang dari ajaran
Islam.
Hikmah dari surat Al-Fatihah
Dalam
surat al-Fatihah terdapat uraian tentang:
1. Tauhid,
yang dikandung oleh ayat-ayatnya yang kedua dan ketiga: Alhamdulillahi Rabbil
‘aalamin. Arrahmaanirrahim.
2. Kepastian
hari kiamat, yang dikandung oleh ayatnya yang keempat: Maliki Yaumiddin.
3. Ibadah
yang seharusnya hanya tertuju kepada Allah dikandung oleh ayat: Iyyaka Na’budu.
4. Pengakuan
tentang kelemahan manusia dan keharusan meminta pertolongan hanya kepada-Nya
dalam ayat : Wa Iyaka Nasta’iin, dan Ihdinashiraathal mustaqiim.
5. Keanekaragaman
manusia dalam menghadapi perintah Ilahi : Ada yang menerima, ada yang menolak
setelah mengetahui, dan ada juga yang sesat jalan, yaitu yang dikandung dalam
ayat terakhir surat Al-Fatihah.
Kelima
hal pokok di atas, tauhid, kepastian hari kiamat, dan keikhlasan beribadah
adalah dasar-dasar pokok ajaran al-Qur’an. Sedang uraian yang terdapat dalam
surah-surah lain tentang alam, manusia, dan sejarah merupakan cara-cara yang
ditempuh oleh Al-Qur’an untuk mengantar manusia meraih, menghayati, mengamalkan
persoalan-persoalan pokok itu.
KESIMPULAN
Surat
Al-Fatihah bukan semata-mata bacaan untuk beribadah saja, tetapi juga
mengandung bimbingan untuk membentuk pandangan hidup setiap muslim.
Tauhid
uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dalam ayat, “Alhamdulillah” (Segala
puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba
terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya,
dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka. Kemudian pada ayat, “Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in” menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan
kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya
dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah. Kalimat yang pertama
menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan
ikhlas untuk mengharap ridha Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah
Rasulullah SAW. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya
seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama
dan dunianya kecuali kepada Allah. Dan pada ayat, “Ihdinash shirathal mustaqim”
yang merupakan doa yang termasuk jenis ibadah. Doa ini merupakan permintaan
seorang hamba untuk mendapatkan petunjuk menuju jalan lurus.
Adapun
tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam ayat, “Rabbil ‘alamin.” Hal
itu disebabkan Allah adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus
penguasanya. Pada ayat “Maliki yaumiddin” Allah adalah rabb segala sesuatu dan
penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apapun yang berada di
antara keduanya adalah milik-Nya. Dialah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.
Sedangkan
tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat kedua telah menyebutkan dua buah
nama Allah. Kedua nama itu adalah Allah dan Rabb sebagaimana di dalam ayat,
“Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘alamin
adalah segala makhluk selain Allah. Allah dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya,
sifat-sifat-Nya, maka Dialah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya
adalah makhluk.
[1] Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 25-26
[2] Tafsir Al Misbah, Juz I,
hlm 11
[3] Tafsir Fi Zilalil
Qur’an, Juz I, hlm 26-27
[4] Tafsir Al Misbah, Juz I,
hlm 27
[5] Ibid, hlm 31
[6] Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 28
[7] Tafsir Al-Misbah, Juz I,
hlm, 34
[8] Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 29
[9] Tafsir Al-Misbah, Juz I
hlm 41-42
[10] Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 30
[11] Tafsir Al-Misbah, Juz I,
hlm 49
[12] Tafsir fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 31
[13] Ma’rifah yang dimaksud
disini ialah pengetahuan yang belum tentu diketahui orang awam
[14] Tafsir Al-Misbah, Juz I,
hlm 63-64
[15] Tafsir Fi Zhilalil
Qur’an, Juz I, hlm 31
[16] Tafsir Al-Misbah, Juz I,
hlm 70-74
semoga bermanfaat amin
BalasHapus